ChanelMuslim.com – Assalammu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Izin bertanya, Bunda Rosa. Dalam waktu dekat, saya akan melangsungkan pernikahan dengan calon suami. Perlukah membuat perjanjian pranikah sebelum ijab kabul? Bagaimana prosesnya?
Oleh: Rosalita Chandra, S.H, M.H.
Jawaban: Wa’alaikummussalam Warahmatullahi Wabarakatuh. Perjanjian pranikah yang dalam hukum keluarga dikenal dengan nama Perjanjian Perkawinan.
Perjanjian Perkawinan merupakan perjanjian antara calon suami dan calon istri mengenai kesepakatan dalam rumah tangga terkait penggabungan atau pemisahan harta, hak dan kewajiban suami istri, serta pengaturan hal-hal lain yang tidak bertentangan dengan norma agama, kesusilaan, ketertiban umum dan peraturan perundang-undangan.
Aturan Hukum Undang-Undang Perjanjian Pranikah
Ketentuan mengenai pembuatan Perjanjian Perkawinan diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 sebagai berikut:
Pasal 29
(1) Pada waktu atau sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
(2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
(3) Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
(4) Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
Bagi calon suami istri yang beragama Islam, ketentuan mengenai pembuatan Perjanjian Perkawinan juga diatur dalam Pasal 45 sampai dengan Pasal 52 Kompilasi Hukum Islam. Prinsip umum Perjanjian Perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam diatur pada Pasal 47 sebagai berikut:
Baca juga: Mengenal Perjanjian Pranikah
Pasal 47
Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan.
Perjanjian tersebut dalam ayat (1) dapat meliputi percampuran harta probadi dan pemisahan harta pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan Islam.
Di samping ketentuan dalam ayat (1) dan (2) di atas, boleh juga isi perjanjian itu menetapkan kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi dan harta bersama atau harta syarikat.
Pendapat Ahli Hukum
Menurut pendapat kami, membuat Perjanjian Pranikah atau Perjanjian Perkawinan perlu dilakukan bagi calon suami istri dengan alasan-alasan sebagai berikut:
1. Keberadaan Perjanjian Perkawinan yang dibuat secara tertulis dan didaftarkan secara sah menurut hukum dapat memberikan kepastian hukum dan perlindungan atas hak-hak suami istri dalam menjalankan rumah tangga, termasuk bagi anak-anak yang lahir dari perkawinan.
Hal ini terutama jika Perjanjian Perkawinan mengatur mengenai kepemilikan harta pribadi atau harta bersama, penanggungan hutang pribadi atau hutang dalam perkawinan, serta penanggungan nafkah anak-anak hingga mereka mandiri atau dewasa.
2. Di sisi yang lain, dengan adanya Perjanjian Perkawinan maka hubungan hukum dan tanggung jawab dengan pihak ketiga juga menjadi jelas. Misalnya, dalam hal pengajuan kredit atau jual beli aset. Jika suami istri memutuskan pisah harta dalam Perjanjian Perkawinan, termasuk hutang.
Maka hubungan hukum dengan pihak ketiga sebatas pada suami atau istri yang mengajukan kredit saja. Dan jika hendak melakukan proses jual beli aset, cukup dengan suami atau istri yang akan melakukan transaksinya saja.
3. Terakhir, adanya Perjanjian Perkawinan dapat meminimalisir implikasi hukum terhadap harta perkawinan. Terutama dalam hal adanya potensi risiko penyitaan aset terkait hutang piutang maupun kepailitan.
Bagi calon suami istri yang ingin membuat Perjanjian Perkawinan, maka dapat menemui Konsultan Hukum atau Notaris terlebih dahulu. Tujuannya untuk mendiskusikan hal-hal yang akan dimasukkan dalam Perjanjian Perkawinan. Lalu menghadap Notaris untuk membuat Akta Perjanjian Perkawinan.
Selanjutnya akta tersebut diajukan kepada Pegawai Pencatat Nikah di Kantor Urusan Agama. Agar bisa didaftarkan sebelum ijab kabul dan disahkan dengan catatannya tertera pada buku nikah.
Apabila Anda sudah melakukan ijab kabul dan ingin membuat Perjanjian Perkawinan, maka hal ini tetap diperbolehkan. Aturannya berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 Tahun 2015 dengan langkah-langkah pembuatan yang sama seperti diuraikan diatas.
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat. [Wnd]