SA`D bin Ubadah dan Kaum Anshar pernah mempertanyakan keadilan Rasulullah. Ibnu Abbas menceritakan, “Dalam setiap peperangan, pasukan Rasulullah memiliki dua bendera: bendera kaum Muhajirin yang dibawa oleh Ali bin Abu Thalib dan bendera kaum Anshar yang dibawa Sa’d bin Ubadah.”
Baca Juga: Sa`d bin Ubadah Mempersilakan 80 Kaum Muhajirin Makan di Rumahnya
Sa`d bin Ubadah dan Kaum Anshar Mempertanyakan Keadilan Rasulullah
Sikap tegas sudah menjadi karakter orang yang memiliki kepribadian kuat ini. la tegas dalam membela kebenaran dan segala sesuatu yang menurutnya benar.
Jika ia meyakini sesuatu, maka ia menyatakannya secara terus terang tanpa ditutup-tutupi, dan melaksanakannya dengan tekad bulat tanpa kenal kompromi.
Pada peristiwa pembebasan kota Mekah, Rasulullah mengangkatnya sebagai kepala regu dari pasukan Islam. ketika mendekati pintu gerbang Tanah Suci ia berseru
“Hari ini hari berkecamuknya perang. Hari ini tidak ada lagi yang terlarang.”
Umar mendengar seruannya itu. la segera melaporkannya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, aku mendengar ucapan Sa’d bin Ubadah.
Kami khawatir dia akan menghabisi semua orang Quraisy.”
Maka, Nabi saw, memerintahkan Ali untuk menyusulnya dan mengambil alih kepernimpinan.
Ketika melihat Mekah telah tunduk dan menyerah kepada pasukan Islam yang datang membebaskannya, Sa’d teringat-akan semua siksaan yang dialami oleh kaum muslimin, yang juga pernah ia rasakan sendiri.
Begitu juga dengan peperangan yang mereka lancarkan kepada suatu kaum dan para penyeru, hanya karena mereka menyerukan kalimat “La ilaha illallah”.
Karena itu, sikap keras dan tegasnya mendorongnya untuk menindak orang-orang Quraisy dan membalas kejahatan mereka dengan tindakan yang setimpal dan bisa dilakukannya di hari pembebasan itu.
Sikapnya yang tegas atau sebut saja sikapnya yang militan ini, yang sudah menjadi karakternya, mengantarkannya mengambil sikap tegas pada peristiwa Saqifah.
Tidak lama setelah Rasulullah wafat, sekelompok orang dari kaum Anshar berkumpul di Saqifah (pendopo) bani Sa’idah menyeru-kan agar khalifah pengganti Rasulullah diangkat dari kaum Anshar.
Menjadi khalifah pengganti Rasulullah adalah satu kemuliaan tersendiri, di dunia dan di akhirat. Karena itu, orang-orang dari kaum Anshar ingin mendapatkan kemuliaan ini.
Akan tetapi, Rasulullah pernah mengangkat Abu Bakar sebagai imam shalat menggantikan beliau ketika beliau sakit.
Kasus ini dan kasus lainnya, di mana Abu bakar adalah pendamping Rasulullah saat mereka di Gua Tsur, dipahami oleh para sahabat.
Mereka memahami bahwa Abu Bakar lebih berhak menduduki jabatan ini. Inilah yang dipahami Umar. Sementara di Sisi lain, Sa’d bin Ubadah punya pemahaman lain. Satu sikap yang tidak bisa dimengerti oleh kebanyakan para sahabat.
Baca Juga: Ketika Umar Menghancurkan Rumah Mewah Saad bin Abi Waqqash
Sikap tegas dan keras seperti ini memang sudah menjadi karakternya. Seperti yang sudah kami sebutkan, Sa’d sangat gigih dengan apa yang sudah ia yakini, dan ia menyatakannya secara terus terang.
Karakternya yang tegas dan keras ini terlihat jelas dalam peristiwa yang terjadi beberapa saat setelah Perang Hunain.
Seusai Perang Hunain yang dimenangkan kaum muslimin, Rasulullah mulai membagi harta rampasan perang kepada kaum muslimin.
Saat itu, Rasulullah punya perhatian khusus kepada para mualaf dari kalangan pemuka kaum.
Rasulullah memberi mereka bagian seperti yang diberikan kepada para tentara yang membutuhkan. Adapun kaum muslimin yang imannya sudah mantap. Rasulullah percaya dengan keimanannya itu.
Mereka tidak mendapatkan bagian sedikit pun. Di luar itu, pemberian dari Rasulullah adalah satu kemuliaan tersendiri yang sangat didambakan oleh setiap orang.
Dan di luar itu, saat itu, harta rampasan perang merupakan pemasukan tersendiri yang menjadi tumpuan hidup kaum muslimin.
Dengan perasaan kecewa, orang-orang Anshar bertanya-tanya, mengapa mereka yang telah mantap keimanannya tidak diberi bagian.
Penyair mereka, Hasan bin Tsabit berkata dalam syairnya,-
“Datanglah kepada Rasulullah dan tanyakan,
‘Wahai Nabi yang tepercaya Jika semua manusia dihitung
mengapa bani Sulaim tidak terpanggil
padahal merekalah Para Pendahulu
merekalah yang memberi tempat
merekalah yang memberi Pertolongan
Anshar; ituiah sebutan Allah untuk mereka
Karena jasa mereka menolong agama Nya
mereka Pejuang di medan perang
semua musibah mereka terima
tanpa takut tanpa kecewa”
Pada bait-bait syair tersebut penyair kebanggaan Rasulullah dan kebanggaan orang-orang Anshar ini melukiskan kekecewaan yang dirasakan orang-orang Anshar disebabkan Nabi saw tidak memberikan bagian dari harta pampasan perang kepada orang-orang Anshar.
Pemuka Anshar, Sa’d bin Ubadah melihat dan mendengar warganya berbisik-bisik memperbincangkan hal ini. Maka, ia menemui Rasulullah dan berkata, “Wahai Rasulullah, kaum Anshar merasa Kecewa terhadapmu atas pembagian harta rampasan yang kau lakukan. Kaummu mendapatkan bagian.
Beberapa kabilah Arab juga mendapat bagian yang besar. Sedangkan orang-orang Anshar tidak mendapatkan bagian apa-apa.
Begitulah, laki-laki yang suka keterusterangan ini mengungkapkan isi hatinya dan isi hati kaummya. la menceritakan kondisi yang sebenarnya kepada Rasulullah.
Rasulullah bertanya kepadanya, “Sedangkan kamu sendiri, wahai Sa’d, apa pendapatmu?”
Artinya, jika itu pendapat kaummu lantas apa pendapatmu? Dengan terus terang ia menjawab, “Aku ini bagian dari mereka.”
Nabi bersabda, “Kalau begitu, kumpulkan kaummu.”
Sa’d mengumpulkan kaum Anshar, lalu Rasulullah menemui mereka. Wajah-wajah mereka terlihat penuh kekecewaan.
Beliau memandang mereka dengan senyum menandakan penghargaan atas sikap mereka. Beliau bersabda, “Wahai sekalian orang-orang Anshar, aku mendengar ucapan kalian. Aku mendengar kekecewaan kalian atas tindakanku.
Bukankah aka datang kepada kalian, saat kalian berada dalam kondisi tersesat lalu Allah memberi petunjuk kepada kalian?
Bukankah saat itu kalian dalam kondisi kekurangan lalu Allah mencukupi kalian?
Bukankah saat itu kalian saling bermusuhan lalu Allah mempersatukan hati kalian?”
Mereka menjawab, “Benar, wahai Rasulullah. Allah dan Rasul-Nya lebih pemurah dan lebih utama.”
Rasulullah bersabda, “Maukah kalian menyambut seruanku, wahai orang-orang Anshar?”
Mereka menjawab, “Dengan apa kami sambut seruanmu, wahai Rasulullah? Bagi Allah dan RasuI-Nya pemberian dan keutamaan. ”
Rasulullah bersabda, “Demi Allah, jika kalian mau, kalian pasti akan mengatakan dan kalian pasti membenarkannya dan dibenarkan,
‘Engkau datang kepada kami dalam keadaan didustakan, maka kami membenarkanmu.
Engkau datang kepada kami dalam keadaan dikalahkan, maka kami menolongmu.
Engkau datang kepada kami dalam keadaan butuh, maka kami membantumu.
Engkau datang kepada kami dalam keadaan terusir, maka kami memberimu tempat. ‘
Wahai orang-orang Anshar, apakah kalian kecewa jika aku memberikan sedikit harta dunia kepada sekelompok orang agar mereka masuk Islam, sedangkan kalian sudah memiliki keislaman yang mantap?
Wahai orang-orang Anshar, tidakkah kalian puas, jika orang lain pulang membawa kambing dan unta, lalu kalian pulang dan Rasulullah berada dalam rombongan kalian?
Demi Allah yang nyawaku berada di tangan-Nya, kalau tidaklah karena hijrah, tentulah aku termasuk golongan Anshar.
Seandainya orang-orang menempuh jalannya sendiri-sendiri, pastilah aku akan mengikuti jalannya orang-orang Anshar. Ya Allah, berilah rahmat kepada kaum Anshar dan anak cucu mereka.”
Orang-orang Anshar itu langsung menangis tersedu-sedu hingga janggut mereka basah oleh air mata. Kata-kata Rasulullah itu telah menyiramkan kedamaian ke dalam hati mereka, kekayaan ke dalam jiwa mereka, dan keselamatan ke dalam diri mereka.
Dengan serentak, mereka berseru, termasuk Sa’d bin Ubadah, “Kami ridha kepada Rasulullah, atas pembagian dan pemberiannya.” [Cms]
Sumber : Biografi 60 Sahabat Nabi, Penerbit Al Itihsom