LIHATLAH pasukan Islam yang berangkat ke pertempuran Jamuh. Panglimanya adalah Zaid bin Haritsah.
Perhatikan juga pasukan Islam yang bertempur di Perang Thoif, Perang Ishi, Perang Hismi, dan peperangan lain, panglimannya adalah Zaid bin Haritsah.
Begitukah, seperti yang pernah kita dengar dari Ummul Mu’minin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Setiap Nabi menyertakan Zaid dalam suatu pasukan, pasti ia yang diangkat jadi pemimpinnya!”
Akhirnya, datanglah Perang Mu’tah yang terkenal itu.
Saat itu, orang-orang Romawi dengan kerajaan mereka yang sudah renta, mulai takut terhadap Islam. Bahkan mereka melihat Islam sebagai ancaman bagi eksistensi mereka, terutama di wilayah Syam yang merupakan wilayah jajahannya. Berbatasan dengan negara-negara Islam yang sedang bergerak dengan semangat membara.
Karena itulah orang-orang Romawi ingin menjadikan Syam sebagai batu loncatan untuk menaklukan jazirah Arab dan negeri-negeri Islam.
Baca Juga: Pola Asuh Usamah bin Zaid, Panglima Perang Rasulullah
Kisah Zaid bin Haritsah Menjadi Panglima Perang
Rasulullah membaca gelagat itu. Beliau memutuskan untuk mendahului mereka dengan serangan mendadak, dan menyadarkan mereka akan kemampuan pasukan Islam untuk melawan.
Pada bulan Jumadil Ula tahun ke-8 Hijrah pasukan Islam bergerak ke Balqa’ di wilayah Syam. Di perbatasan Syam, mereka berhadapan dengan pasukan Romawi yang dipimpin oleh Heraklius yang dibantu oleh suku-suku pendatang yang tinggal di perbatasan.
Pasukan Romawi mengambil tempat di suatu daerah yang bernama Masyarif, sedangkan pasukan Islam mengambil posisi di dekat wilayah Mu’tah. Lalu, perang ini disebut perang Mu’tah.
Rasulullah benar-benar mengetahui pentingnya perang ini. Karena itu, beliau memillih tiga orang panglima dari mereka yang dikenal sebagai ahli ibadah di malam hari dan mujahid di siang hari.
Dipilihlah tiga orang yang sudah menjual diri mereka untuk Allah. Keinginan dan cita-cita mereka hanya satu, yaitu syahid di medan perang agar bisa mendapatkan ridha Allah, lalu dapat melihat wajah-Nya.
Mereka akan menjadi panglima perang secara berurutan; Zaid bin Haritsah, Jafar bin Abi Thalib, dan ‘Abdullah bin Rawahah.
Semoga Allah ridha kepada mereka, dan menjadikan mereka ridha kepada-Nya. Juga semoga Allah meridhai seluruh generasi sahabat.
Begitulah, sewaktu pasukan hendak berangkat, Rasul berdiri di hadapan mereka dan berpesan, “Kalian harus tunduk kepada Zaid bin Haritsah.
Jika ia gugur, pimpinan diambil alih oleh Ja’far bin Abi Thalif, dan jika Jafar juga gugur, maka posisinya diganti oleh ‘Abdullah bin Rawahah!”
Meskipun Ja’far bin Abi Thalib, yang juga sepupu Rasul, adalah orang yang paling dekat di hati Rasul; meskipun dia pemberani, dari kalangan bangsawan, bahkan masih sepupu Rasulullah, namun Rasulullah tetap mengangkatnya sebagai panglima kedua yang akan menggantikan panglima pertama, yaitu Zaid, jika ia gugur.
Seperti inilah Rasulullah mengukuhkan suatu prinsip bahwa Islam sebagai agama baru mengikis habis hubungan yang tidak baik, dan menggantinya dengan hubungan yang didasari oleh nilai-nilai kemanusiaan yang sesungguhnya.
Seolah-olah Rasul telah mengetahui perjalanan pertempuran yang akan berlangsung. Beliau menetapkan susunan panglimannya secara berurutan, Zaid, Ja’far, lalu Abdullah bin Rawahah. Ternyata ketiga panglima itu syahid secara berurutan di medan tempur itu.
Ketika pasukan Islam mengetahui jumlah pasukan Romawi sekitar 200 ribu tentara, suatu jumlah yang tidak mereka duga sama sekali, mereka terkejut.
Tetapi, kapankan pertempuran yang didasari iman mempertimbangkan jumlah bilangan?
Pasukan Islam terus maju tanpa gentar, tak peduli dan tak menghiraukan banyaknya jumlah musuh. Di barisan paling depan, terlihat panglima mereka, Zaid, menunggangi kuda dengan tangkasnya, sambil memegang erat bendera pasukan.
Ia berkelebat kesana kemari di celah-celah desingan anak panah, ujung tombak dan pedang musuh. Ia tidak mencari kemenangan perang, tetapi lebih memilih surga yang dijanjikan bagi orang-orang yang syahid di medan perang.
Di mata Zaid, yang tampak bukanlah padang pasir Balqa’, atau pasukan Romawi, tetapi teman-teman surga yang hijau berombak laksana kibaran bendera, yang menyambutnya laksana pengantin baru.
Ia ayunkan pedang dengan tangkas, namun bukan untuk membunuh musuh, tetapi untuk melapangkan jalannya menuju taman indah yang luas membentang. Taman keabadian di sisi Tuhannya.
Akhirnya, Zaid mendapatkan impiannya.
Ruhnya yang sedang terbang menuju surga itu tersenyum melihat raga yang ditinggalkannya. Raga itu tidak terbungkus sutra halus, namun terselimuti darah suci yang mengalir untuk memperjuangkan agama Allah.
Senyumnya semakin merekah penuh ketentraman, ketika melihat panglima kedua, Ja’far, melesat laksana anak panah lepas dari busurnya, menyambar bendera pasukan Islam sebelum menyentuh tanah. [Ai/Ln]
Sumber: 60 Sirah Sahabat Rasulullah SAW/Khalid Muhammad Khalid/Al Itishom