ChanelMuslim.com – Abu Lahab, Abu Sufyan dan bangsawan-bangsawan Quraisy terkemuka lainnya, tidak pernah puas menghentikan dakwah Rasulullah, para petinggi Quraisy sudah menyadari bahwa ajaran Muhammad itu merupakan bahaya besar bagi kedudukan mereka. Hingga ketiga kalinya mereka mendatangi dan membujuk lagi Abu Thalib agar dia menghentikan dakwah salah satu anggota keluarganya itu.
Abu Thalib memanggil Rasulullah saw dan berkata,
“Muhammad, orang-orang Quraisy kembali datang padaku dan mengatakan, ‘Wahai Abu Thalib, engkau adalah orang terhormat dan terpandang di kalangan kami. Oleh karena itu, kami meminta baik-baik kepadamu untuk menghentikan keponakanmu itu, tetapi tidak juga engkau lakukan. Ingatlah, kami tidak akan tinggal diam terhadap orang yang memaki nenek moyang kita, tidak menghargai harapan-harapan kita, dan mencela berhala-berhala kita. Suruh diam dia atau kami lawan dia hingga salah satu pihak nanti binasa!”
Abu Thalib memandang wajah keponakannya lekat-lekat, meminta Muhammad datang dan diceritakannya maksud seruan Quraisy itu. Lalu katanya: “Jagalah aku, begitu juga dirimu. Jangan aku dibebani hal-hal yang tak dapat kupikul.”
Rasullullah tertegun. Beliau tahu, pamannya seolah sudah tidak berdaya lagi membelanya. Pamannya hendak meninggalkan dan melepasnya. Sementara itu, kaum muslimin masih lemah dan belum mampu membela diri. Namun, semua diserahkan pada kehendak Allah azza wa jalla. Rasullullah bertekad untuk terus berdakwah. Lebih baik mati membawa iman daripada menyerah atau ragu-ragu.
Karena itu, dengan seluruh kekuatan jiwa, ia menoleh kepada pamannya seraya berkata:
“Paman, demi Allah, kalau pun mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan tugas ini, sungguh tidak akan kutinggalkan. Biar nanti Allah yang akan membuktikan apakah kemenangan itu ada di tanganku atau aku binasa karenanya.”
Begitulah kedahsyatan iman Rasulullah. Abu Thalib sampai tertegun dan gemetar mendengar tekad keponakannya itu. Rasulullah pergi sambil menitikkan airmata, tetapi Abu Thalib memanggilnya kembali sambil berkata,
“Anakku, katakanlah sekehendakmu. Aku tidak akan menyerahkan engkau apa pun yang terjadi,” ungkap Abu Thalib kepada Rasullah saw.
Sore itu, Rasulullah pulang ke rumah dengan hati yang sangat sedih. Seharian, beliau melihat para pengikutnya disiksa. Betapa berat penderitaan orang-orang Muslim saat itu. Khadijah menghampiri suaminya tercinta. Dihibur dan dikuatkannya kembali diri Rasulullah saw.
Tiba-tiba, pintu terbuka. Ruqayyah, putri kedua Rasulullah, tiba-tiba masuk sambil menangis. Ruqayyah mendekap pangkuan ibunya sambil menangis tersedu-sedu.
“Ada apa, sayang?” tanya Khadijah begitu lembut, menutupi kekhawatirannya sendiri akan berita buruk yang dibawa putrinya itu.
“Suamiku menceraikan aku, Bunda,” isak Ruqayyah.
“Ayah mertuaku, Abu Lahab, menyuruh suamiku menceraikan aku dan suamiku menurut. Ia dijanjikan akan dinikahkan kembali dengan putri bangsawan.”
Rasulullah dan Khadijah saling bertatapan sedih. Sudah sekejam itu Abu Lahab bertindak untuk menyakiti Rasulullah dan keluarganya.
“Ummu Jamil, ibu mertuaku, merobek-robek bajuku,” lanjut Ruqayyah pilu. “Abu Lahab memukuliku. Abu Lahab, Ummu Jamil, dan suamiku, Utbah, bersumpah tidak akan menerima lagi kehadiranku selama ayah masih tetap mendakwahkan Islam.”
Seberapa pun tabahnya Khadijah, akhirnya air matanya menitik juga melihat putrinya yang kini menjadi orang terusir. Dengan lembut, Rasulullah memeluk putrinya itu dan menghapus air mata di pipinya.
“Aku lebih sayang Ayah dan Bunda daripada siapa pun di dunia ini,” bisik Ruqayyah kepada Rasulullah.
Dengan hati pilu, Rasulullah pergi menemui Abu Bakar. Rasulullah menceritakan kejadian yang menimpa Ruqayyah.
“Ya Rasulullah,” kata Abu Bakar dengan lembut.
“Sebenarnya, dari dulu, Utsman bin Affan sudah menaruh hati pada Ruqayyah, tetapi Utbah mendahuluinya. Utsman sangat menyesal tidak dapat menyunting putri Anda.”
Mendengar penuturan Abu Bakar, Rasulullah pun kemudian menikahkan Utsman dengan Ruqayyah. Untuk sementara, berakhir satu kesedihan.
Masih banyak lagi cobaan dan ujian lain yang akan mendera Rasulullah keluarga, dan para sahabatnya.
Tak hanya Abu Lahab yang menjadi pembangkang dan penentang dakwah Nabi Muhammad, istrinya yang bernama Ummu Jamil Arwa binti Harb pun juga kerap melontarkan cacian. Gangguannya terhadap dakwah Nabi bahkan benar-benar keji.
Setiap kali Rasulullah berjalan untuk menemui para pengikutnya, setiap itu pula beliau menemukan duri-duri bertebaran di jalan. Perlahan dan berhati-hati, Rasulullah melangkah agar duri tidak menembus kakinya. Namun, hampir setiap kali pula dalam keadaan itu, kotoran dan batu melayang ke arah beliau.
Ummu Jamil Arwa binti Harb selalu menyebarluaskan fitnah dan propaganda buruk terhadap Nabi Muhammad saw. Ia bahkan kerap menabur duri-duri di jalan yang biasa ditempuh.
Suara tawa melengking terdengar jika Rasulullah tengah sibuk menghindari lemparan batu dan kotoran. Sambil menghapus kotoran yang melekat di pakaian, Rasulullah menoleh ke arah suara tawa. Ummu Jamil dan Abu Lahab kelihatan begitu menikmati penderitaan Rasulullah, Ummu Jamil berpakaian mencolok dan selalu menatap Rasulullah dengan tatapan menghina.
“Lihat!” lengking Ummu Jamil,
“Inilah Muhammad, anak gembel yang berani membawa agama baru! Agama yang dikiranya dapat menyamakan kedudukan para bangsawan dan budak!”
Rasulullah tidak berkata apa-apa untuk membalas. Beliau hanya balik menatap dengan tatapan yang tajam.
“Percuma kamu banyak berkata, istriku! Telinganya sudah tuli!” Sembur Abu Lahab. “Hai, para budak! Lanjutkan kesenangan kalian!”
Sepasang suami istri ini kerap menolak, menentang, dan mengganggu dakwah Nabi Muhammad saw di Makkah dengan membabi-buta.
Seketika itu juga, budak-budak kuat bertubuh besar milik Abu Lahab dan Ummu Jamil kembali melempari Rasullulah dengan batu, kotoran, dan pasir. Diperlakukan seperti itu, Rasulullah tidak membalas sedikit pun. Beliau hanya menghindar, menahan sakit, seraya bersabar dan terus bersabar.
Kemudian, mereka berdua justru tampil menjadi musuh terbesar dalam sejarah Islam dan terpatri jelas dalam Surah Al-Lahab. Mereka membenci Nabi, memperolok, dan mengganggu dakwah beliau hingga akhir hayatnya.[ind/Walidah]
Bersambung