ChanelMuslim.com – Tradisi yang berjalan di kalangan bangsa Arab yang relatif maju adalah mereka mencari wanita yang bisa menyusui anak-anaknya, hal itu merupakan langkah untuk menjauhkan anak-anak dari penyakit yang biasa menjalar di daerah yang sudah maju. Bayi disusui oleh seorang ibu susu yang berada di desa agar otot tubuh bayi menjadi kuat dan agar keluarga yang menyusui bisa melatih bahasa Arab. Maka Abdul Muthalib mencari para wanita yang bisa menyusui Muhammad kecil. Dia pun bertemu dengan Halimah bin Abu Dzu’aib, seorang wanita dari Bani Sa’d bin Bakr dan memintanya untuk menyusui Muhammad kecil.
Halimah As Sa’diyah merupakan seorang wanita yang tidak berkecukupan. Ia bersama suaminya, Al-Harits bin Abdul-Uzza yang berjuluk Abu Kabsyah berasal dari kabilah yang sama. Pekerjaan mereka adalah mencari bayi-bayi untuk disusui dengan imbalan uang.
Sebelumnya, Halimah mengatakan kepada suaminya, al-Harits bin Abdul Uzza bin Rifa’ah As-Sa’di, untuk tidak akan pulang tanpa membawa bayi untuk disusui. Namun, pada saat itu, Allah swt memberikan sebuah rencana untuk mempertemukan Halimah dengan Muhammad bayi.
Ketika Halimah dan Harits kembali ke rombongan, mereka melihat semua kawan mereka telah mendapatkan bayi untuk dibawa pulang dan disusui.
Melihat itu, Halimah berkata kepada suaminya, “Demi Allah, aku tak ingin mereka melihatku pulang tanpa membawa bayi. Demi Allah, aku akan pergi kepada anak yatim itu dan mengambilnya.”
“Tidak salah kalau engkau mau melakukannya. Semoga Allah memberi kita keberkahan melalui anak yatim tersebut.”
Akhirnya Halimah dan suaminya kembali menemui Aminah dan membawa Muhammad ke dusun mereka. Aminah melepas bayinya itu dengan perasaan lega bercampur sedih. Lega karena akhirnya ada yang mengasuh Muhammad, sedih karena harus berpisah dengannya selama dua tahun ke depan.
“Pergilah, Nak. Ibu menunggumu di sini,” bisik Aminah dengan pipi yang hangat dialiri air mata.
Tatkala menggendong Muhammad, Halimah keheranan, “Aku tidak merasa repot membawanya, seakan-akan tidak bertambah beban.”
Kemudian, Halimah menyusui Muhammad. Keberkahan Muhammad kecil memberi berkah kepada keluarga Halimah, bahkan kabilahnya.
“Lihat, bayi ini menyusu dengan lahap,” kata Halimah kepada suaminya.
Setelah menyusui Muhammad, Halimah menyusui bayinya sendiri. Bayi itu juga menyusu dengan lahap. Setelah itu, Muhammad dan bayi Halimah tertidur dengan lelap.
“Anak kita tidur dengan lelap,” bisik Halimah kepada suaminya, “padahal, sebelumnya kita hampir tidak bisa tidur karena ia rewel terus sepanjang malam.”
Malam itu, keduanya bertambah heran karena unta tua mereka ternyata kini menghasilkan susu.
“Engkau tahu, Halimah. Sebelum ini, unta tua kita tidak menghasilkan susu setetes pun,” gumam Harits.
Suami istri itu meminum air susu unta sampai kenyang. Keberkahan itu terus mengalir, malam itu menjadi malam yang penuh kebahagisan bagi keluarga Halimah. Kebutuhan perut keluarga itu tercukupi dan bisa beristirahat dengan tenang.
“Malam ini benar-benar malam yang indah, ” kata Halimah kepada Harits, “bayi kita tertidur lelap dan kita pun bisa beristirahat dengan perut kenyang.”
“Demi Allah, tahukah engkau Halimah, engkau telah mengambil anak yang penuh berkah.”
“Demi Allah, aku pun berharap demikian.
Dulu, Halimah hidup serba kekurangan. Namun, semenjak mengasuh Rasulullah, kehidupan rumah tangga Halimah berubah total, keluarga tersebut kini menjalani kehidupan penuh kebahagiaan, kedamaian, dan berkecukupan.
Keberkahan yang dibawa Muhammad kecil tidak berhenti sampai di situ. Ketika dalam perjalanan kembali ke dusun Bani Sa’ad, terjadi hal yang mengherankan. Dusun itu bertambah keberkahan, keledai yang dipelihara Halimah tumbuh dengan perkasa, domba-dombanya pun tumbuh dengan gemuk dan banyak mengeluarkan susu.
“Suamiku, tidakkah engkau melihat hal yang aneh pada keledai tungganganku?” tanya Halimah.
“Saat kita pergi, keledai ini berjalan pelan sekali,” Harits menanggapi, “tetapi, kini ia dapat berjalan cepat seolah tak kenal lelah. Padahal, beban yang dibawanya cukup berat.”
Keledai itu berjalan cukup cepat sehingga bisa menyusul dan melewati rombongan wanita Bani Sa’ad lainnya yang telah berjalan lebih dulu.
“Halimah putri Abu Dhu’aibi!” panggil para wanita itu keheranan, “tunggulah kami! Bukankah ini keledai yang engkau tunggangi saat kita pergi?”
“Demi Allah, begitulah,” balas Halimah, “ini memang keledaiku yang dulu.”
“Demi Allah, keledaimu itu kini bertambah perkasa!”
Ketika tiba di rumah, Halimah dan Harits tambah terkejut. Sepetak tanah rumput yang tadinya gersang itu kini berubah begitu subur dan hijau.
“Sepetak tanah kita!” bisik Halimah tak percaya.
“Sepetak tanah kita ini jadi begitu hijau dan subur! Padahal, saat kita berangkat, tak ada sepetak tanah pun yang lebih gersang dari ini!”
“Domba-domba juga!” seru Harits, “domba domba kita jadi gemuk dan susunya penuh. Kini kita dapat memerah dan meminum susu mereka setiap hari.”
Lingkungan di Bani Sa’ad benar-benar sangat murni. Kelak Rasulullah pun dapat berkata dengan bangga, “Aku adalah keturunan Arab yang paling tulen. Sebab aku anak suku Quraisy yang menyusui di Bani Sa’ad bin Bakr.”
Selain Rasulullah saw, saudara-saudara sepersusuannya adalah Abdullah bin Al-Harits, Anisah binti Al-Harits, Hudzafah atau Judzamah binti Al-Harits, yang julukannya justru lebih populer daripada namanya sendiri, yaitu Asy-Syaima. Wanita inilah yang menyusui Abu Sufyan bin Al-Harits bin Abdul Muthalib, anak paman beliau.
Paman beliau, Hamzah bin Abdul Muthalib juga disusui di Bani Sa’d bin Bakr. Suatu hari, ibu susuan Rasulullah saw juga pernah menyusui Hamzah selagi beliau masih dalam susuannya. Jadi, Hamzah adalah saudara sepersusuan Rasulullah saw dari dua pihak, yaitu Tsuwaibah dan Halimah as-Sa’diyah.
Begitulah Muhammad kecil merasakan ketenangan dan kebahagiaan menikmati masa kecilnya di desa Bani Sa’d bin Bakr. Muhammad kecil tumbuh dengan baik, tidak seperti bayi-bayi yang lain, bahkan sebelum usia dua tahun pun beliau sudah tumbuh pesat.
Kemudian, Halimah menyapih Muhammad pada usia dua tahun dan membawanya kembali kepada ibunya, meskipun ia berharap agar anak itu tetap berada di tengah-tengah keluarganya karena ia merasakan berkah kehadiran anak tersebut.
Halimah berkata kepada Aminah, “Andaikan saja engkau sudi membiarkan anak kami ini tetap bersama kami hingga menjadi besar. Sebab aku khawatir dia terserang penyakit yang biasa menjalar di Mekkah.”
Akhirnya, Rasulullah saw tetap diasuh oleh Halimah hingga berusia empat atau lima tahun, saat terjadi peristiwa pembelahan dada beliau.
Muslim meriwayatkan dari Anas bahwa Rasulullah saw didatangi Jibril yang saat itu beliau sedang bermain dengan beberapa anak kecil lainnya. Jibril memegang beliau dan menelentangkannya, lalu membelah dada dan mengeluarkan hati beliau dan mengeluarkan segumpal darah dari dada beliau, seraya berkata: “Ini adalah bagian syetan yang ada pada dirimu.” Lalu Jibril mencucinya di sebuah baskom dari emas dengan menggunakan air Zamzam, kemudian menata dan memasukkan hati tersebut ke tempatnya semula. Anak-anak kecil lainnya yang ketakutan segera berlari menemui ibu susuannya dan mengatakan bahwa Muhammad telah dibunuh. Para ibu susuan segera menghampiri Muhammad yang ternyata wajahnya semakin berseri. Mereka pun keheranan atas apa yang telah terjadi.
Halimah merasa khawatir setelah peristiwa tersebut, ia pun mengembalikan Muhammad kepada ibunya.
Demikianlah sekelumit kisah Halimah as-Sa’diyah, ibu susu Rasulullah saw yang menanamkan pendidikan usia dini, mengajarkan bahasa Arab yang luhur, dan perangai baik lainnya yang membekas kepada Muhammad saw. [ind/Walidah]
bersambung