ChanelMuslim.com – Kisah Abu Qudamah menceritakan pengalaman jihad masih berlanjut dengan pertanyaan kepada seseorang yang meminta beliau berhenti di tengah perjalanan.
“Lalu, bagaimana dengan Ummi? Mintalah restu darinya terlebih dahulu. Jika merestui, ayo. Jika tidak, layanilah beliau.
Sungguh baktimu lebih utama dibandingkan jihad. Memang, jannah di bawah bayangan
pedang, namun juga di bawah telapak kaki ibu.”
“Duhai Abu Qudamah. Tidakkah engkau mengenaliku?”
Baca Juga: Kisah Orang-orang Quraisy yang Selalu Meminta Mukjizat
Menceritakan Pengalaman Jihad tentang Tekad Pemuda yang Ingin Ikut Jihad
“Tidak.”
“Aku putra pemilik titipan itu. Betapa cepatnya engkau melupakan titipan Ummi, pemilik kepangan rambut itu.
Aku, insya Allah, adalah seorang syahid putra seorang syahid. Aku memohon kepadamu dengan nama Allah, jangan kau halangi aku ikut
berjihad fi sabilillah bersamamu.
Aku telah menyelesaikan Al-Qur’an. Aku juga telah mempelajari Sunnah Rasul. Aku pun lihai menunggang kuda dan memanah.
Tak ada seorang pun lebih berani dariku. Maka, janganlah kau remehkan aku hanya karena aku masih belia. Ummi telah bersumpah agar aku tidak kembali. Beliau berpesan, ‘Nak,
jika kau telah melihat musuh, jangan pernah kau lari.
Persembahkanlah ragamu untuk Allah. Carilah kedudukan di sisi Allah. Jadilah tetangga Abimu dan paman-pamanmu yang sholeh di jannah.
Jika nantinya kau menjadi syahid, jangan kau lupakan Ummi. Berilah Ummi syafa’at. Aku
pernah mendengar faedah bahwa seorang syahid akan memberi syafaat untuk 70 orang keluarganya dan juga 70 orang tetangganya.
Ummi pun memelukku dengan erat dan mendongakkan kepalanya ke langit. Rabbku.. Maulaku.. Inilah putraku, penyejuk jiwaku, buah hatiku. Aku persembahkan ia untukmu. Dekatkanlah ia dengan ayahnya’,” terang sang pemuda.
Kata-katanya terus mendobrak tanggul air mataku Abu Qudamah. Akhrinya, beliau benar-benar tak kuasa menahan tangis. Abu Qudamah menangis tersedu-sedu.
Beliau tidak tega melihat wajah sang pemuda, tetapi telah memiliki tekad yang begitu kuat untuk berjihad.
Sang pemuda pun bertanya, “Paman, apa gerangan tangisanmu ini? Jika sebabnya adalah usiaku, bukankah ada orang yang lebih muda dariku, tetap Allah tetap mengadzabnya jika bermaksiat!?”
“Bukan. Bukan lantaran usiamu. Namun, aku menangis karena kalbu ibumu. Bagaimana jadinya nanti jika engkau gugur?”
Akhirnya, Abu Qudamah menerimanya sebagai bagian dari pasukan.
Baca Juga: Kisah Setan Memberitahu Ayat Kursi
Si Pemuda Selalu Berzikir
Siang malam, si pemuda tak pernah jemu berzikir kepada Allah Ta’ala. Saat pasukan bergerak, ia yang paling lincah mengendalikan kuda. Saat pasukan berhenti istirahat, ia yang paling aktif melayani pasukan.
Makin melangkah, tekadnya juga makin membuncah, semangatnya makin menjulang, kalbunya makin lapang dan tanda-tanda kebahagiaan makin terpancar darinya.
Abu Qudamah dan pasukan terus berjalan menyusuri hamparan bumi nan luas. Akhirnya, mereka tba di medan laga bersamaan dengan bersiap-siapnya matahari untuk terbenam.
Sesampainya, sang pemuda memaksakan diri menyiapkan hidangan berbuka untuk pasukan karena hari itu mereka semua berpuasa. [Cms]
(Bersambung pada bagian ketiga)