ARTIKEL ini merupakan terusan dari artikel, Khadijah, Istri Tercinta Nabi Muhammad yang Menginspirasi Keimanan dan Kesetiaan. Saat itu, Allah membuat Muhammad al-Amin menjadi suka berkhalwat hingga tidak ada sesuatu pun yang lebih beliau sukai daripada menyepi seorang diri. Setiap tahunnya, Muhammad menyendiri di Gua Hira untuk beribadah selama satu bulan penuh.
Muhammad tinggal di gua itu selama malam-malam yang panjang dengan bekal yang hanya sedikit, jauh dari permainan dan senda gurau penduduk Mekah, serta menjaga diri penyembahan terhadap berhala yang biasa mereka lakukan.
Baca juga: Ujian dan Pembelajaran Kisah Nabi Adam di dalam Al-Qur’an (1)
Khadijah: Istri Tercinta Nabi Muhammad yang Menginspirasi Keimanan dan Kesetiaan (3)
Sayyidah Khadijah tidak ingin mengganggu hari-hari yang dilalui suaminya dengan penuh khusyuk dalam berkhalwat. Khadijah tidak mau mengeruhkan kejernihan perenungan yang dilakukan oleh Muhammad dengan banyak bertanya dan berbicara.
Bahkan, ia berusaha sekuat mungkin untuk memberikan perlindungan dan ketenangan ketika Muhammad berada di rumah. Ketika Muhammad berangkat menuju Gua Hira, kedua mata Khadijah hanya dapat memandangi suami tercintanya dari kejauhan. Walaupun demikian, ia tetap mengutus seseorang untuk menjaga dan mengawasi suaminya dari jauh, tanpa mengganggu khalwatnya.
Rasulullah melakukan kebiasaan itu hingga beberapa waktu. Se- lanjutnya, pada bulan Ramadlan, saat Rasulullah berada di Gua Hira, datanglah Jibril membawa suatu kehormatan berupa wahyu dari Allah Ketika fajar menyingsing, Rasulullah bergegas pulang ke rumah dengan penuh ketakutan sampai-sampai tubuhnya menggigil. Beliau berkata, “Selimutilah aku! Selimutilah aku!”
Khadijah istri tercinta segera merangkul sang suami. Dengan penuh percaya diri dan keyakinan, Khadijah berbisik kepada sang suami, “Allah pasti melindungi kita wahai Abu al-Qasim. Bergembiralah dan teguhkanlah dirimu wahai putra pamanku! Demi Tuhan yang jiwaku ada di tangan-Nya, aku sungguh berharap engkau menjadi nabi bagi umat ini. Demi Allah, Dia tidak akan pernah menyusahkanmu karena engkau orang yang suka menyambung silaturahmi, berbicara jujur, menanggung amanah, menghormati tamu, dan membela kebenaran, ”
Hati Muhammad menjadi tenang setelah mendengar ucapan Khadijah tersebut. Beliau kembali menjadi tenang mendengar keyakinan dan keimanan Khadijah terhadap apa yang ia bawa.
Sejenak Muhammad beristirahat dan tenggelam dalam tidur yang damai dan tenang. Khadijah menyelimutinya dengan hati yang penuh cinta dan keyakinan. Selanjutnya, Khadijah bangkit dan dengan hati-hati, ia beranjak pergi menuju pintu rumah lalu bergegas menyusuri jalanan yang sepi. Ia melangkah dengan cepat menuju kediaman saudara sepupunya, Waraqah bin Naufal, lalu ia ceritakan sesuatu yang telah dialami oleh Muhammad, suaminya.
Waraqah tidak memberikan jawaban selain dengan lantang ia berkata, “Quddus! Quddus! Demi Tuhan yang jiwa Waraqah ada di tangan-Nya, jika engkau percaya kepadaku wahai Khadijah, Muhammad telah didatangi oleh malaikat Jibril yang juga pernah mendatangi Musa dan Isa. Sungguh Muhammad adalah nabi umat ini. Karena itu, katakanlah kepadanya: ‘Teguhkanlah dirimu’!”
Khadijah segera bergegas pulang menemui suaminya tercinta untuk menyampaikan berita gembira itu. Setelah itu, ia kembali menemui Waraqah dengan membawa Muhammad agar suaminya itu bisa mendengar langsung kabar yang disampaikan oleh saudara sepupunya tersebut.
Begitu berjumpa dengan Muhammad, ia berberkata, “Demi Tuhan yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh engkau adalah nabi umat ini. Sungguh engkau akan didustakan dan disakiti, diusir dan diperangi.
Andai saja aku menjumpai hari itu, pastilah aku akan membelamu dengan segala daya dan upayaku.” Selanjutnya, Waraqah mendekati Muhammad dan mencium ubun-ubunnya. Muhammad bertanya, “Akankah mereka mengusirku?” Waraqah menjawab, “Benar, tidak ada seorang pun membawa kabar seperti yang engkau bawa ini yang tidak dimusuhi. Andai saja saat itu aku masih muda. Andai saja saat itu aku masih hidup.” Tidak lama setelah itu, Waraqah meninggal dunia.
Hati Muhammad menjadi lapang atas kabar yang beliau dengar. Muhammad mengerti bahwa dakwah itu menanggung banyak beban dan inilah sunatullah yang berlaku kepada para nabi dan para juru dakwah-Nya. Demi dakwahnya yang murni untuk Tuhan semesta alam, Muhammad hendaklah mengabaikan segala siksaan dan penghinaan yang dilakukan oleh kaum musyrikin.
Sayyidah Khadijah adalah orang pertama yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta memeluk Islam.” Selanjutnya, ia mendukung urusan Rasulullah dan membenarkan apa yang beliau sampaikan.
Dengan demikian, Allah telah meringankan beban Nabi karena setiap kali mendengar sesuatu yang tidak menyenangkan, seperti dibantah atau didustakan hingga menjadi sedih, Allah selalu menghilangkan kesedihan itu melalui Khadijah yang memberi motivasinya, meringankan beban, membenarkan, dan menganggap mudah persoalan yang dihadapi manusia.
Bahkan, ketika Bani Hasyim dan Bani Abdul Muththalib divonis untuk meninggalkan Mekah dengan mengungsi ke rumah Abu Thalib, setelah kaum Quraisy mengumum- kan perang yang tidak mengenal belas kasih, serta telah menandatangani pemutusan hubungan dengan mereka dan digantungkan di alas Ka’bah, Khadijah tidak merasa ragu untuk meninggalkan Mekah bersama suaminya. Demikianlah, Khadijah meninggalkan rumahnya tercinta. Khadijah bangkit untuk mengikuti suami dan nabinya ke mana saja.
Allah berfirman,
يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِرُ قُمْ فَأَنْذِرُ * وَرَبَّكَ فَكَبَرُ * وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ
وَلَا تَمْنُنْ تَسْتَكْثِرُ وَلِرَبِّكَ فَاصْبِرْ
“Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah lalu berilah peringatan! Dan Tuhanmu agungkanlah! Dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa tinggalkanlah, dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah!” (QS. Al-Muddatstsir: 1-7)
Dengan ucapan maupun perbuatannnya, Khadijah bangkit untuk menyerukan Islam di samping suaminya. Hasil dakwah yang pertama adalah budak Khadijah yang bernama Zaid dan keempat putrinya. Sementara itu, kedua putranya, Qasim dan Abdullah, telah dipanggil oleh Allah saat masih kanak-kanak dan Khadijah pun mampu menyikapinya dengan tabah.
Khadijah juga melihat dengan mata kepalanya sendiri akan wanita pertama yang mati syahid, Sumayah, yang sedang meregang nyawa di tangan orang- orang yang durhaka hingga kembali kepada Tuhannya dengan terhormat dan mulia.
Selain itu, Khadijah juga meninggalkan buah hatinya, Ruqayyah istri Utsman bin Affan, yang hijrah ke negeri Habasyah demi menyelamatkan agama dari gangguan kaum musyrikin. Khadijah tinggal di rumah Abu Thalib dalam masa boikot dan blokade itu selama tiga tahun berturut-turut bersama Rasulullah beserta para sahabat dan kaumnya. Khadijah mampu bersabar menghadapi bengisnya blokade yang menyusahkan dan menyengsarakan itu.
Sumber: Biografi 39 Tokoh Wanita Pengukir Sejarah Islam – Dr. Bassam Muhammad Hamami
[Vn]