DALAM sejarah Islam bahkan syariat Islam sendiri tidak pernah menyudutkan atau merendahkan wanita. Wanita diberi tempat mulia sebagaimana laki-laki. Beberapa ayat Al-Qur’an turun berkaitan dengan wanita. Ini menunjukkan wanita dalam Islam memiliki peranan yang sama pentingnya dengan laki-laki. Kabsyah binti Ma’an salah satunya, wanita yang menjadi penyebab berakhirnya kebiasaan Jahiliyah tentang pewarisan wanita.
Kabsyah adalah putri dari ksatria yang tangguh, penunggang kuda yang lihai, komandan perang yang bijak. Kabsyah adalah satu-satunya anak perempuan di keluarganya, sedangkan seluruh saudaranya laki-laki.
Saat ayahnya, Ma’an bin ‘Ashim, meninggal dunia, usia Kabsyah masih terbilang kecil. Dan tak lama kemudian, ibunyapun meninggal dunia. Kabsyah dirawat dan dijaga oleh saudara-saudara laki-lakinya.
Baca Juga: Ibn Hazm Menunggu Wanita Pujaannya selama 10 Tahun dan Masih Ditolak
Kabsyah binti Ma’an, Wanita yang Mengakhiri Kebiasaan Jahiliyyah
Ia memiliki fisik yang elok, wajahnya berseri-seri, pipinya lebar, matanya cantik, ditambah pula ia memiliki sifat-sifat yang mulia. Maka tak heran jika banyak laki-laki yang datang meminangnya.
Namun, saudara-saudara laki-laki Kabsyah menolak seluruh pinangan para lelaki itu, karena usia Kabsyah yang masih kecil.
Bertahun-tahun lamanya, saat Kabsyah telah tumbuh dewasa, datanglah Abu Qais bin Aslat meminang Kabsyah. Saudara-saudara Kabsyah menerimanya. Maka terjadilah pernikahan diantara keduanya.
Abu Qais dan Kabsyah mengarungi bahtera rumah tangga di Syam. Mereka bertemu dengan pendeta Yahudi dan Nasrani. Qais menanyakan tentang pencipta langit dan bumi, yang menciptakan kehidupan dan kematian kepada mereka, Kabsyah turut menyimak.
Namun, ternyata pendeta-pendeta tersebut tak memikat hati Abu Qais dan Kabsyah. Keduanya menolak ajakan para pendeta untuk memeluk agamanya.
Pada suatu hari, seorang pendeta datang menemui keduanya dan berkata, “Jika kalian berdua mencari agama yang hanif maka ia ada di tempat kalian keluar -Jazirah Arab- yaitu agama Ibrahim.”
Dari sanalah awal mula perjalanan Abu Qais dan Kabsyah memeluk Islam. Melalui lisan Amru bin Naufal diperkenalkan Islam kepada keduanya saat berada di Mekkah.
Keduanya lalu menjalani hidup dengan mengabdi serta berdakwah kepada Islam. Di Madinah mereka mengajak orang-orang untuk menerima seruan agama yang agung ini.
Setelah sekian lama, mereka tak juga dikarunia seorang anak. Kabsyah pasrah menerima keputusan yang terbaik dari Allah.
Suatu hari, ia meminta kepada suaminya untuk membawa putranya dari istrinya yang lama untuk tinggal bersama di rumah mereka. Agar ia dapat menjadi ibu dan dia berjanji akan merawat dan mendidiknya dengan baik. Demikianlah naluri seorang wanita yang menginginkan kehadiran seorang anak.
Sang suami, Abu Qais, menuruti permintaan sang istri yang amat dicintainya itu. Kehidupan Kabsyah kini lebih berwarna, ia hidup bahagia menjadi seorang ibu.
Hari berganti, Abu Qais merasakan tubuhnya yang teramat berat. Ajal kian mendekatinya. Tidak ada yang ditakutkan oleh Abu Qais selama ia sakit termasuk kematian. Namun yang ia takutkan adalah putranya sendiri.
Ia berkata kepada Kabsyah, “Yang aku takutkan adalah putraku wahai Kabsyah, aku takut ia akan terjerumus dan terpedaya oleh godaan setan.”
Belum selesai Kabsyah menenangkan sang suami, tiba-tiba ruh suaminya kembali menemui Rabb-nya.
Dalam tradisi Jahiliyah dan di awal masa Islam dimana syari’at belum turun secara sempurna, kebiasaan masyarakat Jahiliyah jika seorang suami meninggal dunia dan meninggalkan isteri, maka anaknya dari pihak istri yang lain atau keluarga dekatnya datang untuk menggauli isteri yang ditinggal mati itu.
Anak tersebut menjadi orang yang berhak atas diri istri tersebut daripada dirinya dan keluarganya sendiri. Jika suka, dia juga dia juga dapat menikahkannya dengan orang lain, dia dapat mengambil mahar semaunya.
Jika mau, dia dapat melarangnya untuk menikah denhan laki-laki lain, dia juga dapat menyengsarakannya. Jika istri itu meninggal dunia, maka dialah yang berhak mewarisinya.
Setelah kepergiaan sang suami, Kabsyah diliputi kebimbangan. Hidupnya penuh ketidakpastian. Hashi, putra suaminya yang selama ini ia rawat tidak memberinya nafkah, tidak pula menggaulinya, dan tidak pula membebaskannya.
Kabsyah mengadukan hal ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan ternyata ini menjadi keluhan banyak wanita lainnya yang masih mewarisi kebiasaan Jahiliyah.
Atas peristiwa ini, Allah menurunkan surah An-Nisa ayat 22:
Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).
Demikian pula turun surah An-Nisa ayat 19:
Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.
Demikianlah Kabsyah, wanita yang menjadi penyebab turunnya perlarangan pewarisan wanita dan larangan menikahi wanita yang telah dinikahi oleh ayahnya. Kisahnya menjadi penyebab berakhirnya kebiasaan Jahiliyah yang merendahkan kedudukan wanita. [Ln]