ChanelMuslim.com – Nafisah al Tahira adalah cucu Rasulullah dari jalur Fatimah dan Ali bin Abu Thalib. Inilah kisah ulama wanita generasi awal yang terlupakan diceritakan oleh Ustaz Farid Nu’man Hasan.
Nafisah binti Al Hasan bin Zaid bin Al Hasan bin Ali bin Abi Thalib, berarti beliau masih keturunan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Ayahnya Al Hasan bin Zaid, adalah gubernur Madinah selama lima tahun di masa Khalifah Al Manshur, lalu Al Manshur mencopotnya dan memenjarakannya, di saat banyak keturunan Ali Radhiallahu ‘Anhu dan pengikutnya dianggap melakukan makar.
Lalu, di masa Khalifah Al Mahdi (putera Al Manshur), Beliau dibebaskan, dimuliakan, dikembalikan kekayaannya, lalu diajak haji bersamanya dan wafat di Hajir (sebuah desa lima mil dari Madinah) tahun 168 H, di usia 85 tahun.
Sayyidah Nafisah lahir tahun 145 H di Mekkah, lalu dibesarkan di Madinah, sering hadir di majelisnya Imam Malik, bahkan dianggap salah satu penjaga fiqihnya Imam Malik.
Beliau pindah ke Mesir Bersama suaminya, Ishaq bin Ja’far bin Muhammad ash Shadiq, dan wafat di sana tahun 208 H.
Imam as Sakhawi menceritakan, hijrahnya ke Mesir berawal dari hajinya yang ke-30 kali, dari sana suaminya mengajaknya ke Baitul Maqdis, berziarah ke kubur Nabi Ibrahim al Khalil, lalu langsung ke Mesir dan tiba di bulan Ramadhan 193 H, dan menjadi peristiwa besar bagi penduduk Mesir, baik bagi pria dan wanita.
Mereka dari berbagai penjuru Mesir mendatangi ke tempat tibanya untuk mencari keberkahan. (Ad Durul Mantsur, hlm. 522)
Beberapa nama beken ulama pernah mengambil ilmu darinya, seperti Imam asy Syafi’i (150-204 H) saat tinggal di Mesir. Karena kelilmuannya, beliau dijuluki dengan Nafisah al ‘ilmi (Permatanya Ilmu).
Ketika mendengar kabar Imam Asy Syafi’i wafat di Mesir, beliau ikut ta’ziyah lalu menyalatkannya di rumahnya sendiri.
Baca Juga: Ulama-ulama Perempuan dalam Perkembangan Peradaban Islam (1)
Biografi Nafisah al-Tahira, Cucu Rasulullah yang Jadi Syaikhah Mesir
Penduduk Mesir sangat mencintai Sayyidah Nafisah, sampai-sampai mereka mengkultuskannya pasca wafatnya.
Seorang sejarawan, ahli hadits, dan ahli fiqih mazhab Syafi’i, yaitu Imam Adz Dzahabi bercerita, bahwa mereka menyifatkan Nafisah dengan hal-hal yang bisa jatuh kesyirikan, mereka sujud kepadanya, dan menganggapnya dapat memberikan maghfirah (ampunan).
Menurutnya itu merupakan tipuan kalangan ‘Abidiyah. (Siyar A’lam an Nubala, 8/284. Al Wafi bil Wafayat, 27/101, Al Bidayah wan Nihayah, 10/286).
Di sisi lain, Sayyidah Nafisah dikenal sebagai wanita shalihah, takut kepada Allah, tekun ibadah, puasa, shalat malam, zuhud, banyak menangis, 30 kali haji, hapal Al Quran dan tafsirnya, makan hanya tiga hari sekali, banyak karamah, dan kuburnya dikenal merupakan salah satu tempat mustajab berdoa.
Ketika ada orang bertanya kepadanya karena Ibadahnya itu, “Apakah kamu tidak bersikap lembut atas dirimu?”
Nafisah menjawab: “Bagaimana mungkin aku bersikap lembut terhadap diriku, sementara di hadapanku akibat yang baik hanya bagi orang-orang yang beruntung?”
Imam Adz Dzahabi menambahkan:
Dikatakan bahwa dia (Nafisah) adalah wanita shalihah, ahli ibadah, berdoa di sisi kuburnya mustajab, begitu pula berdoa di sisi kubur para nabi dan orang-orang shalih, di masjid-masjid, arafah, muzdalifah ………….(Ibid)
Ibnu Khalikan juga mengatakan hal serupa, “Kuburnya dikenal sebagai tempat yang diijabahnya doa di sisinya, mujarrab (terbukti), semoga Allah meridhainya.” (Wafayat Al A’yan, 5/424)
Di antara karamah yang Allah Ta’ala berikan kepadanya adalah saat keluarga Yahudi menitipkan anaknya yang perempuan dan lumpuh.
Nafisah menyembuhkannya dengan tangannya, anak itu bisa berjalan, setelah peristiwa itu keluarga Yahudi itu masuk Islam, begitu juga tetangganya sampai sebanyak 70 orang. (Ad Durul Mantsur, hlm. 522)
Karamah lain, diceritakan oleh Imam Al Muqrizi, bahwa pada saat sungai Nil kekeringan, orang-orang mengadukan hal itu kepada Nafisah, lalu Nafisah mendoakan mereka, dan memberikan selendangnya kepada mereka untuk dilemparkan ke Nil, lalu sungai meluap airnya dan memberikan manfaat bagi manusia dengan izin Allah Ta’ala. (Al Mawa’izh wal I’tibar, 4/26)
Beliau wafat dalam kondisi ibadah, yaitu saat berpuasa (Ramadan), yang sejak 30 tahun lalu dia berdoa agar wafat dalam keadaan puasa. Orang-orang memintanya berbuka saja, tapi Beliau berkata:
واعجباه لي منذ ثلاثين سنة أسأل الله تعالى أن ألقاه وأنا صائمة أأفطر الآن هذا لا يكون؟!
“Sejak 30 tahun lalu, saya berdoa agar dapat berjumpa Allah dalam keadaan berpuasa, dan sekarang saya harus berbuka? Itu tidak akan terjadi.”
Di detik-detik wafatnya, Sayyidah Nafisah membaca ayat Al Quran: “Bagi mereka (disediakan) darussalam (surga) pada sisi Tuhannya.” (QS. Al An’am: 127), lalu wafat dan dikuburkan di rumahnya, di antara Kairo lama dan Kairo baru.
Suaminya ingin menguburkannya di Madinah, tapi ditahan oleh penduduk Mesir karena kecintaan mereka. (Ad Durul Mantsur, hlm. 522. Al Bidayah wan Nihayah, 10/286)
Semoga Allah Ta’ala merahmati dan meridhai Sayyidah Nafisah. Sesungguhnya apa yang ada pada dirinya, baik keilmuannya, ibadahnya, zuhudnya, kedermawanannya, karamahnya, semua itu adalah karunai Allah Ta’ala kepadanya dan kepada hamba-hamba yang mujahadah menuju jalan-Nya.
Sahabat Muslim, lalu, siapakah Sayyidah Nafisah zaman ini? Wallahu a’lam, Wa Shallallahu ‘Ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam.[ind]
Maraji’:
– Imam Adz Dzahabi, Siyar A’lam An Nubala
– Imam Shalahuddin Ash Shafadi, Wafi bil Wafayat
– Imam Ibnu Khalikan, Wafayat Al A’yan
– Imam Ibnul Mulaqin, Thabaqat Al Auliya’
– Imam Ibnu Katsir, Al Bidayah wan Nihayah
– Imam Al Muqrizi, Al Mawa’izh wal I’tibar
– Syaikhah Zainab binti ‘Ali Fawwaz Al ‘Amili, Ad Dur Al Mantsur fi Thabaqat Ribath Al Khudur