ChanelMuslim.com – Belajar mengelola waktu dari para salafus shalih. Mush’ab bin Umair misalnya. Seorang pemuda yang kaya, berpenampilan rupawan, dan biasa dengan kenikmatan dunia.
Ibunya sangat memanjakannya, sampai-sampai saat ia tidur dihidangkan bejana makanan di dekatnya. Ketika ia terbangun dari tidur, maka hidangan makanan sudah ada di hadapannya.
Dalam Asad al-Ghabah, Imam Ibnul Atsir mengatakan, “Mush’ab adalah seorang pemuda yang tampan dan rapi penampilannya. Kedua orang tuanya sangat menyayanginya.
“Ibunya adalah seorang wanita yang sangat kaya. Sandal Mush’ab adalah sandal al-Hadrami, pakaiannya merupakan pakaian yang terbaik, dan dia adalah orang Mekah yang paling harum sehingga semerbak aroma parfumnya meninggalkan jejak di jalan yang ia lewati.” (al-Jabiri, 2014: 19).
Ia adalah di antara pemuda yang paling tampan dan kaya di Kota Mekah. Kemudian ketika Islam datang, ia jual dunianya dengan kekalnya kebahagiaan di akhirat.
Sejak itu, seluruh waktu kehidupannya ia persembahkan di jalan dakwah bersama Rasulullah, hingga akhir hidupnya. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengenang Mush’ab dalam sabdanya,
مَا رَأَيْتُ بِمَكَّةَ أَحَدًا أَحْسَنَ لِمَّةً ، وَلا أَرَقَّ حُلَّةً ، وَلا أَنْعَمَ نِعْمَةً مِنْ مُصْعَبِ بْنِ عُمَيْرٍ
“Aku tidak pernah melihat seorang pun di Mekah yang lebih rapi rambutnya, paling bagus pakaiannya, dan paling banyak diberi kenikmatan selain dari Mush’ab bin Umair.” (HR. Hakim).
Sedang kita……………..?
Kita kadang masih tertukar, menjual akhiratnya untuk dunianya. Kejar dunia, lupa akhirat. Waktu habis untuk urusan dunia, akhirat tak kebagian adanya. Meredupkan akhirat untuk alasan dunia.
Bangsa Arab mengenal waktu adalah pedang. Sedangkan Bangsa Barat menetapkan waktu adalah uang. Tentu efeknya akan berbeda antara keduanya.
Benarlah kiranya nasihat Al-Hasan Basri; “Sungguh saya telah berjumpa dengan beberapa kaum, mereka lebih bersungguh-sungguh dalam menjaga waktu mereka daripada kesungguhan kalian untuk mendapatkan dinar dan dirham”.
Baca Juga: Mengelola Hati saat Kecewa dengan Pasangan
Belajar Mengelola Waktu dari Para Salafush Shalih
Coba kita saksikan episode singkat Rasulullah dan para salafush sholih dalam memanfaatkan waktunya:
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam: Dalam waktu 23 tahun bisa membangun peradaban Islam yang tetap ada sampai sekarang.
Ikut 80 peperangan dalam tempo waktu kurang dari 10 tahun, santun terhadap fakir miskin, menyayangi istri dan kerabat, dan yang luar biasa adalah beliau seorang pemimpin umat yang bisa membagi waktu untuk umat dan keluarga secara seimbang!
Zaid bin Tsabit Radhiyallahu anhu: Sanggup menguasai bahasa Parsi hanya dalam tempo waktu 2 bulan! Beliau dipercaya sebagai sekretaris Rasul dan penghimpun ayat Quran dalam sebuah mush’af.
Abu Hurairah: Masuk Islam usia 60 tahun. Namun ketika meninggal di tahun 57 H, beliau meriwayatkan 5374 Hadits! (Subhanallah!)
Anas bin Malik: Pelayan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam sejak usia 10 tahun, dan bersama rasul 20 tahun. Meriwayatkan 2286 Hadits.
Abul Hasan bin Abi Jaradah (548 H): Sepanjang hidupnya menulis kitab-kitab penting sebanyak tiga lemari.
Abu Bakar Al-Anbari: Setiap pekan membaca sebanyak sepuluh ribu lembar.
Syekh Ali At-Thantawi: Membaca 100-200 halaman setiap hari. Kalkulasinya, berarti dengan umurnya yang 70 tahun, beliau sudah membaca 5.040.000 halaman buku. Artikel yang telah dimuat di media massa sebanyak tiga belas ribu halaman. Dan yang hilang lebih dari itu.
Ibnu Jarir Ath-Thabari, beliau menulis tafsir Al-Qur’an sebanyak 3.000 lembar, menulis kitab Sejarah 3.000 lembar.Setiap harinya beliau menulis sebanyak 40 lembar selama 40 tahun. Total karya Ibnu Jarir 358.000 lembar.
Ibnu Aqil menulis kitab yang paling spektakuler yaitu Kitab Al-Funun, kitab yang memuat beragam ilmu.
Adz-Dzahabi mengomentari tentang kitab ini, bahwa di dunia ini tidak ada karya tulis yang diciptakan setara dengannya. Menurut Ibnu Rajab, sebagian orang mengatakan bahwa jilidnya mencapai 800 jilid.
Al-Baqqilini tidak tidur hingga beliau menulis 35 lembar tulisan.
Ibnu Al Jauzi senantiasa menulis dalam seharinya setara 4 buah buku tulis.
Dengan waktu yang dimilikinya, beliau mampu menghasilkan 2.000 jilid buku. Bekas rautan penanya Ibnul Jauzi dapat digunakan untuk memanasi air yang dipakai untuk memandikan mayat beliau, bahkan masih ada sisanya.
Iman An-Nawawi setiap harinya belajar 12 mata pelajaran, dan memberikan komentar dan catatan tentang pelajarannya tersebut.
Umur beliau singkat, wafat pada umur 45 tahun, namun karya beliu sangat banyak dan masih dijadikan sumber rujukan oleh umat muslim saat sekarang ini.
Al Biruni, (362H—440H), seorang ahli ilmu falak dan ilmu eksakta, ahli sejarah, dan menguasai lima bahasa yaitu bahasa Arab, Suryani, Sanskerta, Persia dan India.
Saat detik-detik terakhir hidup beliau, tetap mempelajari masalah faraidh (waris). Lalu seorang berkata kepada beliau, layakkah engkau bertanya dalam kondisi seperti ini?
Beliau menjawab, kalau aku meninggalkan dunia ini dalam kondisi mengetahui ilmu dalam persoaalan ini, bukankah itu lebih baik dari pada aku hanya sekadar dapat membayangkannya saja, tidak tahu ilmu tentangnya. Tidak lama setelah itu beliau wafat.
Ibrahim bin Jarrah berkata, “Imam Abu Yusuf Al Qadli rahimahullah sakit. Saya menjenguknya. Dia dalam keadaan yang tidak sadarkan diri.
Ketika tersadar, dia berkata kepadaku, ‘Hai Ibrahim, bagaimana pendapatmu dalam masalah ini?’ Saya menjawab, ‘Dalam kondisi ini seperti ini?’
Dia menjawab, ‘Tidak apa-apa, kita terus belajar. Mudah-mudahan ada orang yang terselamatkan karenanya.’ Lalu aku pulang. Ketika aku baru sampai di pintu rumah, aku mendengar tangisan. Ternyata ia telah wafat.”
Syaikh Ibnu Taimiyah selalu menelaah dan menetapi pelajarannya saat beliau sakit atau berpergian. Ibnu Qayyim berkata, Syaikh kami Ibnu Taimiyah pernah menuturkan kepadaku,
“Ketika suatu saat aku terserang sakit, maka dokter mengatakan kepadaku,‘Sesungguhnya kesibukan Anda menelaah dan memperbincangkan ilmu justru akan menambah parah penyakitmu’.
Maka saya katakan kepadanya, ‘Saya tidak mampu bersabar dalam hal itu. Saya ingin menyangkal teori yang engkau miliki. Bukankah jiwa merasa senang dan gembira, maka tabiatnya semakin kuat dan bisa mencegah datangnya sakit?’
Dokter itu pun menjawab, ‘Benar.’ Lantas saya katakan, ‘Sungguh jiwaku merasa bahagia dengan ilmu, dan tabiatku semakin kuat dengannya. Maka, saya pun mendapatkan ketenangan.’
Lalu dokter itu menimpali, ‘Hal ini di luar model pengobatan kami.’
Baca Juga: Kisah Tabiin Terbaik Uwais al Qarni
Mempersingkat waktu makan, serta mengurangi makan agar tidak selalu sering ke WC
Kesungguhan generasi salafus shalih umat ini dalam memanfaatkan waktu sampai pada tingkat bahwa mereka merasa sayang dengan waktu yang dipakai untuk makan, maka mereka mempersingkat sebisa mungkin.
Dawud At-Tha’i rahimahullah memakan alfatit (roti yang dibasahi dengan air). Dia tidak memakan roti kering (tanpa dibasahi).
Pembantunya bertanya, “Apakah Anda tidak berhasrat makan roti?” Dawud menjawab, “Saya mendapatkan waktu yang cukup untuk membaca 50 ayat antara memakan roti kering dan basah.” (Sifatus Shafwah, 3/92)
Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah menceritakan kepada kita, Ibnu Aqil berkata,
“Aku menyingkat semaksimal waktu-waktu makan, sehingga aku lebih memilih memakan kue kering yang dicelup ke dalam air (dimakan sambil dibasahi) dari pada memakan roti kering,
karena selisih waktu mengunyahnya (waktu dalam mencelup kue dengan air lebih pendek daripada waktu memakan roti kering) bisa aku gunakan untuk membaca dan menulis suatu faedah yang sebelumnya tidak aku ketahui.” (Dia melakukan hal itu supaya bisa memanfaatkan waktu lebih). (Dzailut Thabaqatil Hanabilah, Ibnu Rajab,1/177)
Asy-Syamsul Ashbahani, (674H—749 H), seorang tokoh mazhab Syafii, pakar fiqih dan tafsir. Apa yang diceritakan tentang beliau menunjukkan antusiasnya terhadap ilmu dan ‘pelitnya’ beliau untuk menyia-nyiakan waktu.
Sebagian sahabatnya pernah menuturkan bahwa beliau sangat menghindari makan yang banyak, yang tentunya akan butuh banyak minum, dan selanjutnya butuh waktu masuk WC sehingga waktu pun banyak terbuang.
Lihatlah! bagaimana mahalnya waktu dalam pandangan imam yang mulia ini. Dan tidaklah waktu itu mahal bagi beliau melainkan karena betapa sangat mahalnya ilmu tersebut.
Baca Juga: Kisah Keislaman Sa’id bin Amir (2)
Memanfaatkan waktu perjalanan dengan membaca buku, berzikir, menuntut ilmu, bahkan menyampaikan hadits
Said bin Jabir berkata, “Saya pernah bersama Ibnu Abbas berjalan di salah satu jalan di Mekah malam hari. Dia mengajari saya beberapa hadis dan saya menulisnya di atas kendaraan dan paginya saya menulisnya kembali di atas kertas.” (Sunan Ad-Darimi, Imam Ad-Darimi, 1/105)
Tentang Al-Fath bin Khaqan, beliau membawa kitab dalam kantong bajunya. Apabila beliau bangun dari tempat duduknya untuk shalat atau buang air kecil atau untuk keperluan lainnya, beliau membaca kitabnya hingga sampai ke tempat ingin dia tuju. Beliau juga melakukan hal tersebut ketika kembali dari keperluannya. (Taqyiidul ‘Ilm, Al Khatib Al-Baghdadi)
Imam An-Nawawi tidak pernah menyia-nyiakan waktunya, baik di waktu siang atau pun malam, kecuali menyibukkan dirinya dengan ilmu.
Hingga ketika beliau berjalan di jalanan, beliau mengulang-ngulang ilmu yang telah dihafalnya, atau membaca buku yang telah ditelaahnya sambil berjalan. Beliau melakukan itu selama enam tahun. (Tadzkiratul Huffaz, Adz-Dzahabi, 4/1472)
Ibnu Khayyath An-Nahwi, wafat tahun 320 H. Konon, beliau belajar di sepanjang waktu, hingga saat beliau sedang berada di jalanan. Sehingga terkadang, beliau terjatuh ke seleokan, atau tertabrak binatang. (Al-Hatstsu ‘ala Thalabil ‘Ilm wal ijtihad fi jam’ihi, Abu Hilal Askari, hlm. 77)
Baca Juga: Kisah Kelahiran Hasan Al-Basri yang Tumbuh di Lingkungan Para Istri Nabi
Mengurangi tidur, dan mengisi malamnya dengan menuntut ilmu dan ibadah
Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani tidak tidur malam kecuali sangat sedekit sekali. Beliau adalah seorang imam ahli fikih, ahli ijtihad dan ahli hadis. Beliau lahir tahun 132H, dan wafat 189H.
Konon beliau sering tidak tidur malam. Beliau biasanya meletakkan beberapa jenis buku di sisinya. Bila bosan membaca satu buku, beliau akan menelaah yang lain.
Beliau menghilangkan rasa kantuk dengan air, sembari berujar, “Sesungguhnya tidur berasal dari panas”. (Miftahus Sa’adah wa Misbahus Siyadah, I:23)
Gurunya Imam An-Nawawi berkata tentang Al-Hafizh Al-Mundziri, “Saya belum pernah melihat dan mendengar seorang pun yang paling bersungguh-sungguh dalam menyibukkan diri dengan ilmu selain dirinya. Ia senantiasa sibuk di waktu malam dan siang hari.
Saya pernah berdampingan dengannya di sebuah madrasah di Kairo. Selama 12 tahun, rumahku berada di atas rumahnya.
Selama itu pula saya belum pernah bangun malam pada setiap jammya, melainkan cahaya lampu senantiasa menyala di rumahnya, sedangkan ia hanyut dalam ilmu. Bahkan ketika makan pun ia sibuk dengan ilmu.” (Bustanul Arifin, Imam Nawawi)
Dan kita…….?????????????? Apa yang sudah patut dibanggakan dari diri kita?
Kita adalah orang yang ingin manfaat amal kita bisa dinikmati melintasi usia dan umur kita.[ind]