Chanelmuslim.com – Ammar bin Yasir (7) – ‘Amar Berperang Melawan Pemberontak Khalifah Ali.
Waktu pun terus bergulir. Rasulullah wafat, menghadap Sang Pencipta. Disusul Abu Bakar, lalu Umar. Setelah itu, Utsman bin Affan (Dzun Nur’ain) terpilih sebagai Khalifah.
Sementara itu, musuh-musuh Islam berusaha keras untuk menghancurkan Islam. Mereka berupaya mengorbankan kekacauan dan kerusuhan untuk menebus kekalahan mereka di medan perang.
Baca Juga: Ammar bin Yasir (6): Mukjizat Rasulullah Akan Kematian ‘Ammar
Ammar bin Yasir (7) -‘Amar Berperang Melawan Pemberontak Khalifah Ali
Terbunuhnya Umar merupakan hasil pertama yang mereka capai. Mereka sudah berhasil menyusup ke Madinah, bak angin panas menghancurkan sendi-sendi Islam.
Keberhasilan ini menambah semangat mereka untuk terus melakukan konspirasi jahat terhadap Islam. Mereka mengorbankan kekacauan dan pemberontakan di setiap wilayah kekuasaan Islam.
Dan mungkin, karena Khalifah Utsman tidak memberikan perhatian khusus terhadap masalah ini, akhirnya peristiwa besar pun terjadi, dan terbunuhlah Khalifah Utsman. Kekacauan dan pemberontakan semakin melebar.
Khalifah keempat, Ali, juga ditentang oleh Mu’awiyah. Ia tidak mengakui keabsahan Ali sebagai Khalifah.
Sikap para sahabat pun berbeda-beda. Ada yang memilih untuk tidak berpihak dan menjauhkan diri dari perselisihan ini. Mereka berpegang pada ucapan ibnu Umar,
“Siapa yang mengajakku, ‘Marilah kita sholat, ‘maka aku penuhi.
Siapa yang mengajakku, ‘Marilah menuju kebahagiaan,’maka aku penuhi
Dan barangsiapa yagn mengajakku,’Marilah membunuh saudara sesama
muslim, dan merampas hartannya, maka aku berkata kepadannya, “Tidak”
Ada yang berpihak kepada Mu’awiyah.
Dan, ada yang berpihak kepada Ali : Khalifah yang telah dibait oleh kaum muslimin.
Lantas, apa sikap ‘Ammar?
Sikap apa yang diambil oleh laki-laki yang pernah disabdakan oleh Rasulullah, “Ikutilah petunjuk ‘Ammar”?
Sikap apa yang diambil laki-laki yang pernah disabdakan Rasulullah, “Orang yang memusuhi ‘Ammar, dimusuhi Allah”?
Dia-lah orang yang jika suarannya terdengar mendekati rumah Rasulullah, beliau langsung menyambutnya, “Selamat datang, wahai orang baik dan diterima dengan baik. Biarkan dia masuk.”
‘Ammar berpihak kepada Ali. Bukan karena fanatisme, tetapi karena tunduk kepada kebenaran dan teguh memegang janji.
Ali dan Khalifah yang telah dibait oleh kaum muslimin. Jadi, dia adalah Khalifah yang sah dan wajib ditaati.
Terlepas dari itu, Ali adalah manusia yang mempunyai keistimewaan yang menjadikan posisinya di mata Rasulullah, seperti posisi Harun di mata Musa As.
‘Ammar adalah orang yang selalu mengikuti kebenaran, ke mana pun kebenaran itu bergerak. Kali ini juga. Ia tentu melihat dengan mata hatinya, pihak mana yang berada dalam kebenaran. Dan ia melihat, bahwa Khalifah Ali-lah yang berada di pihak yang benar. Maka, ia putuskan untuk membelannya.
Ali ra sendiri merasa gembira atas dukungan yang diberikan ‘Ammar mungkin tidak ada kegembiraan yang lebih besar dari itu. Ia semakin yakin bahwa dirinya dipihak yang benar, karena kokoh pecinta kebenaran (Ammar) berada di pihaknya.
Lalu terjadilah Perang Shiffin yang mengerikan itu.
Khalifah Ali menghadapi persengkongkolan berbahaya yang bisa dikatakan sebagai pemberontakan. Dan ia wajib memadamkan pemberontakan itu.
Ammar yang saat itu berusia 93 tahun terus mendampinginnya.
Yaa…., ia masih meyakini bahwa perang adalah tugas dan tanggung jawabnya. Ia berperang dengan gagah berani melebihi mereka yang berusia 30 tahun.
Tokoh yang pendiam dan jarang bicara ini hampir saja tidak menggerakan kedua bibirnya, kecuali mengucapkan kata-kata memohon perlindungan berikut. “Aku berlindung kepada Allah dari kerusuhan. Aku berlindung kepada Allah dari kerusuhan.”
Tak lama setelah Rasulullah wafat, kata-kata ini merupakan doa yang tak pernah lepas dari bibirnya. Setiap hari bergulir, setiap itu pula ia memperbanyak doa dan memohon perlindungannya itu. Seolah-olah, hatinya yang suci merasakan semakin dekatnya peristiwa mengerikan itu.
Ketika kerusuhan itu benar-benar terjadi, putra Sumayyah ini telah mengerti di mana ia harus berdiri. Di hari Perang Shiffin itu, di usiannya yang telah menginjak 93 tahun, ia bangkit menghunus pedangnya demi membela kebenaran yang harus ia perjuangkan.
Ia juga sudah menyerukan kepada kaum muslimin,
“Wahai kaum muslimin, marilah kita berangkat menghadapi kelompok yang mengaku menuntut balas atas Utsman.”
Demi Allah! Maksud mereka bukanlah ingin menuntut balas, tetapi sebenarnya mereka telah merasakan manisnya dunia dan kecanduan dengannya. Mereka mengetahui bahwa kebenaran akan menghalangi nafsu serakah mereka.
Mereka bukanlah orang-orang yang masuk Islam di tahun-tahun pertama. Mereka tidak berhak untuk ditaati oleh kaum muslimin. Mereka juga belum dikenal sebagai orang-orang yang takut kepada Allah sehingga selalu membela kebaran.
Mereka menipu orang banyak dengan mengaku-ngaku hendak menuntut balas atas kematian Utsman, padahal tujuan mereka yang sesungguhnya adalah hendak menjadi penguasa otoriter.”
Lalu ’Ammar mengambil bendera dan mengibarkannya tinggi-tinggi. Seraya berkata, “Demi Zat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya! Dengan bendera ini dulu aku berperang bersama Rasulullah melawan kebatilan. Dan sekarang, aku juga berperang dengan bendera ini.
Demi Zat yang jiwaku dalam genggamannya! Seandainya mereka menggempur dan menyerbu hingga berhasil mencapai kubu pertahanan kita, aku tetap yakin bahwa kita berada di pihak yang benar, dan mereka di pihak yang salah.”
Orang-orang mengikuti ‘Ammar, mereka percaya kebenaran ucapannya.
Abu Abdurrahman As-Sulami berkata, “Di Perang Shiffin, kami di pihak Khalifah Ali. Aku melihat, setiap ‘Ammar berada di suatu tempat atau di suatu lembah, para generasi sahabat mengikutinnya. Ia bagaikan panji bagi mereka.”
Dan ‘Ammar sendiri, di saat menerjang dan menebaskan pedangnya di medan perang itu, ia sudah merasa bahwa ia akan syahid di medan perang ini.
Berita mukjizat yang dikabarkan Rasulullah terngiang dengan jelas di telingannya, “Ammar akan dibunuh oleh kelompok pemberontak.”
Oleh sebab itu, suarannya bergema di setiap sudut pertempuran, “Hari ini, aku akan berjumpa dengan para kekasih tercinta : Muhammad dan para sahabatnya.”
Bagaikan anak panah, ia melesat menerjang ke arah Mu’awiyah dan orang-orang sekelilingnya dari golongan bani Umayah, lalu berseru dengan suara lantang dan menggetarkan,
“Dulu, kami hantam kalian atas perintah Al-Qur’an
Kini, kami hantam kalian atas pemahaman terhadap Al-Qur’an
Hantaman keras menghentikan niat jahat
Dan memisahkan kawanan pengkhianat
Sampai kebenaran mendapat jalannya.”
Artinya, di masa awal Islam, ‘Ammar dan para sahabat yang lain memerangi bani Umayyah yang masih kafir. Kaum muslimin memerangi mereka dengan perintah langsung dari Allah yang turun kepada Rasulullah, karena mereka orang-orang musyrik.
Sekarang, meskipun mereka sudah masuk Islam, dan tidak ada wahyu yang turun memerintahkan untuk memerangi mereka, namun menurut pemahaman ‘Ammar, memerangi mereka adalah yang dikehendaki Al-Qur’an, agar kebenaran mendapat tempatnya, dan agar api kerusuhan dan pemberontakan padam selama-lamannya.
Dulu, mereka diperangi karena mereka tidak beriman kepada Islam dan Al-Qur’an.
Sekarang, mereka diperangi karena mereka menyeleweng dari ajaran Islam dan mengeksploitasi Al-Qur’an untuk memenuhi nafsu serakah mereka.
Ya…., tokoh tua yang berusia 93 tahun ini melewati akhir kehidupannya di medan perang dengan gagah berani.
Pesan terakhir yang ia sampaikan kepada dunia adalah pentingnya kegigihan membela kebenaran. Sikapnya diakhir hayatnya adalah teladan utama bagi generasi sesudahnya.
Orang-orang dari pihak ‘Mu’awiyah berusaha keras menghindari ‘Ammar karena jika pedang mereka menyebabkan tewasnya ‘Ammar maka kaum muslimin akan menyadari bahwa mereka-lah “kelompok pemberontak” yang dimaksudkan Rasulullah.
Tetapi, sepak terjang ‘Ammar di medan perang yang bagaikan satu pasukan penuh, membuat pasukan Mu’awiyah kalang kabut dan kehilangan akal sehat. Beberapa orang pasukan Mu’awiyah menunggu saat yang tepat untuk membunuh ‘Ammar. Kesempatan itu pun datang dan gugurlah ’Ammar.
Sebagian besar dari tentara Mu’awiyah adalah orang-orang yang baru saja masuk Islam. Mereka berasal dari negara-negara yang telah dibebaskan Islam dari cengkraman pejajahan Romawi dan Persia.
Mereka ibarat bensin yang disiramkan ke api sehingga pembangkangan Mu’awiyah kepada Khalifah Ali berubah menjadi pemberontakan lalu menjadi peperangan yang semakin dahsyat.
Bagaimana pun gawatnya pertikaian ini, mestinya bisa diredam dengan mudah jika penangannya diserahkan kepada para tokoh generasi sahabat. Namun, karena banyak tangan yang ikut campur, padahal mereka sama sekali tidak peduli dengan masa depan Islam, maka permasalahan semakin meruncing dan api pun semakin membesar.
Berita tewasnya ‘Ammar segera tersebar dan “berita mujizat” yang dulu disampaikan Rasulullah saat membangun Masjid Nabawi kembali bergema,
“Inilah putra Sumayyah, ia akan dibunuh kelompok pemberontak.”
Orang-orang pun tahu, siapa yang menjadi kelompok pemberontak. Yaitu, kelompok yang membunuh ‘Ammar, yang tidak lain adalah kelompok Mu’awiyah.
Dengan kenyataan ini, semangat dan kepercayaan pengikut Ali semakin bertambah.
Sementara di pihak Mu’awiyah, keraguan mulai menyusup ke hati mereka. Bahkan, sebagian telah bersiap memisahkan diri dan bergabung dengan Ali.
Mengetahui perkembangan kurang menguntungkan di tengah-tengah pasukannya, Mu’awiyah langsung menemui pendukungnya dan menyatakan kepada mereka bahwa “berita mukjizat” itu benar adanya dan Rasulullah benar-benar telah mengabarkan bahwa ‘Ammar ajab dibunuh oleh kelompok pemberontak. Tetapi, siapa yang sebenarnya telah membunuh ‘Ammar? Lantas ia berseru, “Yang telah membunuh ‘Ammar ialah orang-orang yang mengajaknya ikut ke medan perang.”
Orang-orang yang memang punya niat jahat mendukung penjelasan Mu’awiyah ini. Perang pun kembali berkobar.
Tamat