ChanelMuslim.com- Hambatan dan siksaan kaum muslimin di Mekah kian berat di tahun kelima kenabian. Rasulullah pun membolehkan sebagian para sahabat hijrah ke Habasyah, saat ini disebut negara Ethiopia.
Perjalanan hijrah pertama ke Habasyah itu dilakukan oleh 12 orang laki-laki dan 4 orang wanita. Dipimpin oleh menantu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Utsman bin Affan. Ikut juga bersama rombongan itu putri Nabi yang juga istri Utsman, Ruqayyah binti Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Rasulullah menyebut keluarga anak dan menantunya itu sebagai keluarga pertama yang melakukan hijrah. Dan hal tersebut tergolong hijrah ketiga sebuah keluarga, setelah hijrahnya Nabi Ibrahim, dan Nabi Luth bersama keluarga.
Perjalanan rombongan ini tergolong berat. Selain karena harus sembunyi-sembunyi, jarak antara Mekah ke Yaman tergolong sangat jauh. Kurang lebih 500 kilometer. Itu pun belum termasuk penyeberangan dengan kapal laut menuju Habasyah atau Ethiopia.
Syukurnya, mereka berhasil tiba di negeri Afrika itu dengan selamat. Dan lebih menggembirakan lagi mereka diperlakukan baik di negeri yang dipimpin raja beragama Nasrani ini: Raja Najasyi.
Hijrah kedua dilakukan lagi setelah beberapa tahun kemudian. Kali ini, jumlahnya jauh lebih banyak. Terdiri dari 83 laki-laki dan 18 orang wanita. Salah satu dari yang ikut itu adalah Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha. Dan melalui beliaulah, periwayatan kisah ini disampaikan.
Kali ini, kaum musyrik Quraisy tidak tinggal diam. Mereka mengutus dua orang diplomat ulungnya ke Habasyah. Keduanya mempunyai misi untuk menghinakan umat Islam di sana. Agar umat Islam bisa ditangkap, diusir, dan diserahkan ke pihak Quraisy di Mekah.
Dua utusan diplomat Quraisy itu adalah ‘Amru bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah. Saat itu keduanya belum masuk Islam.
Dua utusan ini membawa begitu banyak barang mahal untuk hadiah kepada para uskup dan raja Habasyah. Keduanya menceritakan misi tersebut dan meminta kepada pejabat istana agar bisa dipertemukan dengan raja.
Setelah bertemu dengan raja, utusan Quraisy ini menceritakan bahwa warganya ada yang melakukan pelarian ke negeri Habasyah. Mereka keluar dari agama nenek moyang dan tidak memeluk agama orang Habasyah.
Keadilan Raja Habasyah begitu mengagumkan. Raja meminta kaum muslimin untuk ikut hadir di forum itu. Dia ingin mendapat penjelasan langsung dari mereka, kenapa mereka hijrah ke Habasyah.
Juru bicara kaum muslimin adalah Ja’far bin Abu Thalib atau kakak dari Ali bin Abu Thalib. Dengan kemampuan diplomasinya, Ja’far menjelaskan secara jujur, runut, dan jelas.
Antara lain, “Kami dahulu menyembah berhala, batu dan patung. Kami dahulu melakukan permusuhan, kejahatan, dan lainnya. Hingga Allah mengutus di antara kami seorang Rasul. Seorang Rasul yang kami kenal nasab baiknya.
“Beliau mengajarkan kami untuk beribadah kepada Allah yang satu dan meninggalkan berhala. Mengajarkan kepada kami tentang amanah, menyambung tali persaudaraan, menyayangi orang miskin, dan menghormati kaum wanita….”
Mendengar penjelasan ini, Raja Najasyi terkesima. Tapi, ia ingin mendapatkan keterangan yang lebih kuat lagi.
“Adakah satu bukti tentang kenabian yang bisa kalian sampaikan kepadaku?” ucap raja Najasyi.
“Ada!” jawab Ja’far, yang kemudian membacakan Surah Maryam.
Bacaan surah itu begitu mempesona Raja Najasyi dan para uskup istana. Sedemikian terpesonanya, Raja Najasyi dan para uskup berlinang air mata. Sedemikian banyak air mata berlinang, hingga membasahi janggut-janggut mereka.
Raja Najasyi akhirnya secara tegas menolak permintaan utusan Quraisy. Raja pun memerintah pejabat istana untuk mengembalikan semua hadiah yang telah diterima.
“Kalian bebas di negeri kami. Siapa pun yang mengganggu akan celaka. Siapa pun yang mengganggu akan celaka. Siapa pun yang mengganggu akan celaka!” ucap Raja Najasyi yang disambut syukur kaum muslimin. [Mh/Kitab Rahiqul Makhtum]