MENGUNJUNGI tiga kota besar Islam seperti Madinah, Mekah, dan Istanbul memberikan pengalaman tersendiri. Meski ketiganya sarat dengan muatan sejarah perjalanan Islam, tapi ada plus minus di antara tiga kota itu.
Penilaian ini memang terambil secara subjektf. Boleh jadi, ada pengunjung lain yang mempunyai penilaian berbeda terhadap tiga kota ini.
Madinah
Provinsi Madinah saat ini terdiri dari 9 daerah, mungkin semacam kabupaten di Indonesia. Total penduduknya kurang lebih sekitar 1.800.000 jiwa, dengan luas wilayah 589.000 km per segi.
Mungkin tak banyak yang tahu bahwa tidak semua wilayah di provinsi Madinah masuk dalam wilayah kota suci. Jadi, di dalam provinsi Madinah terdapat kabupaten tersendiri yang juga disebut Madinah. Dan inilah yang dimaksud dengan kota suci Madinah.
Jumlah penduduk di kota suci Madinah berkisar 996.000 jiwa. Kota suci inilah yang dimaksud dalam hadis Nabi saw. sebagai kota yang terlidung dari kehadiran Dajal di akhir zaman. Jadi, bukan provinsinya.
Berkunjung ke kota suci Madinah memberikan suasana sejuk, tenang, dan nyaman. Dinamika warganya tidak begitu banyak. Sebagian warga berkerja di kantor-kantor pemerintah, berdagang, belajar, dan sebagiannya tinggal di rumah.
Kesan pertama itu bisa ditangkap pengunjung saat tiba di Bandara Muhammad bin Abdul Aziz, Madinah. Desain bandara ini begitu bagus dan kekinian. Tata letaknya begitu apik, bersih, dan nyaman.
Hal itu mungkin wajar karena bandara ini merupakan yang terbaik di seluruh timur tengah. Berbeda jauh dengan bandara Jeddah yang nyaris jauh dari kesan internasional.
Menelusuri jalan-jalan di kota Madinah seperti berada di wilayah jalan perkotaan yang serba tol. Jalannya luas, bebas hambatan, bersih, dan nyaris tak ada motor atau roda dua dan tiga. Padahal, di wilayah ini tak ada jalan tol karena semua jalan seperti jalan tol di Indonesia.
Pusat perhatian dari kota Madinah adalah keindahan dan kemegahan Masjid Nabawi. Hanya beberapa menit melewati bandara Madinah, keindahan menara masjid Nabi itu sudah terlihat. Warnanya didominasi putih dengan tambahan corak warna hijau cerah.
Masjid Nabawi dikelilingi pelataran dengan tenda-tenda canggih menyerupai payung berwarna putih. Payung-payung ini bisa dibuka tutup sesuai kebutuhan. Jamaah haji atau umroh biasanya berkumpul di sekitar pelataran ini.
Ada yang berkumpul untuk koordinasi rombongan, ada yang membentuk halaqah seperti dalam majelis taklim kecil, ada juga yang sekadar kumpul dalam lingkup keluarga: suami, isteri, kakek nenek, dan anak-anak.
Di sepanjang perbatasan pelataran masjid terdapat gedung-gedung bertingkat. Ada hotel, museum, dan lainnya. Hampir semua gedung ini pada lantai bawahnya terdapat toko yang menjual aneka barang.
Jika para jamaah dari berbagai negara lalu lalang dari dan ke masjid, mereka seperti terkondisikan secara alami untuk menoleh toko-toko ini. Jangan heran jika pulang dari masjid, toko-toko ini akan sesak dikunjungi para jamaah yang akan belanja.
Hotel-hotel di sekitar Masjid Nabawi seperti berbaris dalam shaf. Shaf pertama merupakan hotel mewah, shaf berikutnya kurang mewah, dan seterusnya hingga shaf paling belakang yang tidak mewah.
Sekali lagi, di hampir semua gedung termasuk hotel pada lantai bawahnya terdapat toko-toko yang buka hampir 24 jam. Silakan pilih, mau berlama-lama ibadah atau berlama-lama memilih barang belanjaan.
Meski begitu banyak toko, suasananya tetap bersih dan nyaman. Para penjaga toko umumnya tampak tenang berada di dalam toko, tidak berteriak-teriak layaknya pedagang kaki lima. Walaupun ada beberapa penjaga toko yang agak berbeda.
Jadi, jam berapa pun pengunjung keluar dari penginapan untuk ibadah di Masjid Nabawi, suasana nyaman, aman, tenang, dan bersih selalu terjaga.
Baca Juga: Larangan yang Wajib Diketahui Jemaah Haji Saat di Mekah dan Madinah
Wajah Islam di Antara Madinah, Mekah, dan Istanbul
Mekah
Jika pengunjung memasuki kota Mekah selepas meninggalkan kota Madinah, ada suasana yang berbeda. Terutama, di sekitaran Masjidil Haram.
Jalan-jalan raya di sekitar Masjidil Haram selalu ramai kendaraan, kecuali saat lalu lalang jamaah shalat berjamaah, pergi maupun pulang dari masjid. Jalan-jalan di sekitar itu ditutup petugas.
Di saat seperti itu, suasana jalan di sekitaran Masjidil Haram tampak lengang kecuali para pejalan kaki yang berjubel dengan busana serba putih. Tapi di sisi jalan lain, seperti di underpass jalan tersebut tampak antrian padat kendaraan yang menunggu jalan dibuka kembali.
Namun secara umum, jalan-jalan raya di sekitaran lokasi Ka’bah selalu lancar. Tak ada sedikit pun pemandangan suasana jalan yang biasa terjadi di Kota Jakarta misalnya.
Suasana lain yang menjadi sorotan utama di kota Mekah adalah Masjidil Haram di mana Ka’bah berada. Setelah mengalami beberapa kali perluasan, Masjidil Haram memang menjadi lebih luas dan tidak begitu sesak saat pelaksanaan shalat berjamaah. Kecuali pada saat musim haji atau di bulan Ramadan yang memang selalu dipadati jamaah dari berbagai penjuru dunia.
Namun, desain dan penataan ruang masjid terkesan tidak teratur. Ada ruang-ruang dalam lantai yang sama, seolah terputus dengan ruang-ruang yang lain. Dan masing-masing ruang tersebut tersekat dengan dinding atau pembatas jalan lalu lalang jamaah shalat.
Begitu pun dari segi kerapihan dan kebersihan, suasana Masjidil Haram berbeda jauh dengan Masjid Nabawi. Pengunjung mungkin akan kecewa dengan minimnya karpet. Kalau pun ada, karpet sudah lusuh, dan agak bau apek.
Seolah-olah, masjid ini membiasakan jamaah untuk ibadah di lantai apa adanya. Pengaturan ruang antara pria dan wanita pun agak semrawut. Dan ini sangat berbeda dengan di Masjid Nabawi yang ruangan khusus wanitanya sudah paten dan mengikuti pintu-pintu khusus.
Satu lagi, pengaturan shaf atau barisan shalat nyaris tidak ada di masjidil Haram ini. Jamaah dibiarkan membuat batas shaf sendiri dengan sajadah yang mereka gelar. Jangan heran jika saat Anda shalat, ada kaki atau benda lain di tempat sujud Anda.
Catatan lain juga dirasakan saat pengunjung berada di toilet, baik untuk buang air maupun hanya sekadar wudhu. Lokasi toilet ini berada di luar masjid, atau berada di pelataran paling luar.
Kesan yang bisa ditangkap saat memasuki toilet ini adalah bau yang kurang sedap, becek, dan ketidaknyamanan lain. Sebuah suasana yang tidak layak disematkan pada tempat suci seperti Masjidil Haram.
Jika pengunjung ingin memasuki Masjidil Haram, sangat dianjurkan untuk mengambil wudhu di penginapan. Terlebih jika mengenakan sepatu yang nantinya akan sangat merepotkan.
Istanbul
Istanbul merupakan kota tertua dan sekaligus terpadat di Turki. Jumlah penduduknya sekitar 13 jutaan jiwa. Pemandangan paling indah di Istanbul adalah begitu menjamurnya menara-menara masjid. Sebuah pemandangan kontras jika dikelilingi oleh warganya yang berfisik warga Eropa.
Jika pemandangan itu terlihat di Madinah dan Mekah atau di Indonesia, mungkin akan sangat biasa. Tapi akan sangat berbeda jika di salah satu negara benua Eropa ini. Belum lagi dengan pemandangan busana muslimah yang begitu marak di kota Muhammad Al-Fatih ini.
Jika saatnya masuk waktu shalat, suara kumandang azan akan seperti bersahut-sahutan antara satu masjid dengan masjid yang lain.
Hal ini mungkin akan terasa wajar jika merujuk pada data prosentase warga muslim di Turki. Di negara yang dipimpin Erdogan ini, jumlah prosentase umat Islamnya mencapai 99,8 persen. Sebuah prosentase yang melampaui Indonesia.
Namun begitu, pemahaman dan budaya sekuler masih terlihat jelas di kehidupan masyarakat Istanbul. Gradasi busana warganya menjadi agak ekstrim. Ada yang berbusana sangat syar’i, ada juga yang berpenampilan seperti bintang film Hollywood.
Jalan-jalan di sekitar kota Istanbul begitu ramai tapi sangat lancar. Dan jika berpergian di daerah tepian Istanbul, jalan-jalannya yang bagus akan menjadi terasa begitu lengang.
Hampir semua pelosok kota Istanbul adalah objek wisata. Mulai dari masjid, museum, pasar, benteng, dan lainnya.
Khusus untuk warga Indonesia, pedagang-pedagang souvenir sudah sangat akrab. Mereka bahkan sudah terbiasa mengucapkan bahasa Indonesia, seperti, “Lima puluh ribu tiga.” Sambil mereka memperlihatkan barang souvenir itu.
Ketika ChanelMuslim menguji apakah hal itu hanya basa-basi, tiba-tiba mereka memperlihatkan isi tas uang mereka. Dan di dalamnya terdapat uang yang didominasi uang kertas lima puluh ribuan dalam wujud rupiah.
Boleh jadi, pengunjung yang biasa berbelanja di pinggir jalan seperti itu adalah mereka yang berasal dari Indonesia daripada dari negara lain.
Rumah warga di Istanbul hampir tidak ada yang satu rumah satu areal, seperti di Jakarta atau kota-kota di Indonesia. Umumnya mereka tinggal di apartemen, flat, atau sejenis rumah susun.
Sepertinya, warga Istanbul sudah terbiasa dan akrab dengan warga Indonesia. Mungkin karena keramahan warga Indonesia yang selalu mereka temukan di sana, selain juga kesatuan akidah antara dua negara bersahabat itu.
Sayangnya, sebagian besar warga Istanbul dan Turki umumnya, tidak bisa berbahasa Inggris atau Arab. Mereka hanya bisa berbahasa Turki. Inilah yang paling merepotkan jika kita berada di sana. [Mh/Ln]