RAKYAT Gaza terus menjadi sorotan dunia. Ada yang prihatin, tapi tidak sedikit juga yang kagum dan menjadi inspirasi banyak mualaf di Eropa dan Amerika. Seperti apa aslinya kehidupan Rakyat Gaza?
Tidak banyak yang tahu seperti apa aslinya kehidupan rakyat Gaza, Palestina. Mereka baru tahu kehidupan mereka setelah meletus perang Israel-Palestina. Tapi ternyata hal itu hanya sebagian kecil saja.
Seorang mahasiswa asal Gaza yang kuliah S2 di Indonesia, Yahya Thaha, berbagi kisah dengan chanel Youtube The Sungkars. Begini di antaranya.
Satu, warga Gaza itu hampir seratus persen sarjana.
Siapa sangka negeri yang diisolasi dunia dari fasilitas kehidupan yang memadai justru berkembang pesat dalam dunia pendidikan. Beberapa kampus di Gaza tergolong yang bermutu di tingkat dunia. Antara lain, Universitas Al-Azhar dan Universitas Al-Islamiyah.
Sebagian lagi, para pemuda Gaza biasa menempuh pendidikan di luar negeri melalui jalur beasiswa. Ada yang ke Amerika, Eropa, Jepang, termasuk juga ke Indonesia.
Kalau di dunia nyatanya, 98 persen para lulusan SMA di Gaza meneruskan kuliah di perguruan tinggi itu.
Kenapa sih mereka harus meraih sarjana? Yahya menjawabnya dengan ringan. “Tidak ada gadis di Gaza yang mau dinikahi oleh mereka yang bukan sarjana,” ungkapnya santai.
Jadi, semakin tinggi dan berprestasi tingkat akademik seorang pemuda, semakin mudah diterima sebagai suami dan menantu di Gaza.
Dua, rata-rata keluarga di Gaza memiliki anak di atas lima.
Jangan heran kalau rakyat Gaza begitu cepat pertumbuhan angka kelahirannya. Hal ini karena sudah menjadi hal lazim kalau keluarga di Gaza memiliki anak 7 sampai 10 per suami istri. Bahkan, ada yang satu ibu punya 16 anak.
Tingkat akidah dan keimanan mereka begitu tinggi. Mereka tidak khawatir kalau anak banyak nantinya akan sulit memperoleh rezeki. Karena rezeki sudah Allah jamin untuk setiap orang.
Jadi, jika perang usai dan keluarga kembali konsolidasi. Maka, dalam waktu singkat, jumlah rakyat Gaza akan kembali ‘normal’.
Tiga, rakyat Gaza biasa menghasilkan penghafal Al-Qur’an.
Di negeri lain, mungkin munculnya penghafal Qur’an sebagai suatu yang luar biasa. Tapi di Gaza, para penghafal Qur’an sudah menjadi hal biasa.
Hal ini karena setiap keluarga di Gaza selalu mendasarkan anak-anak mereka dengan pendidikan agama, termasuk lulus hafal Qur’an.
Setelah pendidikan agama mumpuni, maka selanjutnya anak-anak diberikan kebebasan untuk memilih jurusan kuliah. Misalnya, apakah tetap memperdalam agama, atau menguasai ilmu lain seperti tehnik, sains, dan lainnya.
Jadi, jangan heran jika para mujahid di Gaza biasa murotal Qur’an tanpa mushaf. Dan mereka pun tidak gaptek dengan dunia IT.
Justru, sebagian besar mereka sangat piawai dengan dunia IT itu. Tidak heran jika mereka biasa membobol sistem cyber milik Israel yang dikenal sangat canggih. [Mh]