ChanelMuslim.com – Menyusui anak bagi seorang ibu menjadi suatu kewajiban, sebagaiman dijelaskan pada surah Al-Baqarah ayat 233.
…وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ ۖ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ ۚ
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan… (Q.S. Al-Baqarah: 233)
Ayat di atas menjadi perintah bagi seluruh ibu, baik yang masih terikat pernikahan ataupun yang telah dithalaq untuk menyusui anak-anaknya. Hal ini ditunjukkan pada lafadz: وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ, kalimat ini berbentuk berita yang berarti perintah sehingga diartikan dengan “para ibu wajib menyusui anak-anaknya.”
Sedangkan kalimat selanjutnyaحَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ (dua tahun) menunjukkan jangka waktu yang sempurna bagi seorang ibu untuk menyusui anaknya. Namun jangan waktu 2 tahun ini tidak menjadi suatu keharusan sebagaimana dijelaskan dalam kalimat selanjutnya لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ (bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan).
Baca Juga: Bekali Diri tentang Menyusui sejak Kehamilan
Perintah Menyusui (Tafsir Al-Baqarah: 233)
Kewajiban menyusui ini dipertegas dalam sebuah hadits Nabi tentang seorang wanita yang mengaku berzina namun Nabi menolak pengakuannya karena tidak cukup bukti untuk menjatuhkan vonis rajam kepadanya. Wanita tersebut terus menyakinkan Nabi, hingga Nabi memerintahkannya kembali lagi jika anaknya telah lahir.
Saat anaknya telah lahir wanita tersebut datang lagi kepada Nabi dan berkata “Inilah bayi yang aku lahirkan.” Nabipun kembali menyuruhnya pulang dan memerintahkannya untuk datang ke Nabi saat anaknya telah selesai disusui atau telah disapihnya.
Ini menegaskan bahwa kepada ibu seorang pezina saja Nabi memerintahkan untuk tetap menyusui anaknya.
Tetapi ada beberapa kondisi dimana seorang wanita tidak bisa menyusui anaknya disebabkan produksi ASI yang kurang, atau penyakit yang dideritanya atau anak yang tidak mau menyusui. Maka dalam kondisi ini ada keringanan bagi mereka untuk mengganti ASI nya dengan susu lain atau menyusukannya kepada orang lain. Sebagaimana dijelaskan pada kelanjutan ayat di atas:
… وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا أَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا آتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ ۗ…
…Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut… (Q.S. Al-Baqarah: 233)
Terkiat ibu-ibu yang menyusui namun dalam status telah dithalaq oleh suaminya. Maka mantan suaminya ini tetap wajib memberikan nafkah kepadanya karena telah menyusui anaknya:
…وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ…
…Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf… (Q.S. Al-Baqarah: 233)
Demikianlah ketentuan Allah, mantan suami tetep wajib memberikan nafkah kepada mantan istrinya selama ia menyusui anaknya. Namun, jika ternyata mantan istri tidak menyusui anak mereka maka tidak ada kewajiban bagi mantan suami untuk memberinya nafkah. [Ln]
Sumber: Tafsir Ayat-Ayat Hukum I, Oleh Luthfie Abdullah Ismail, Lc.