Chanelmuslim.com-Sebagian ulama memakruhkan seorang suami memanggil istri dengan panggilan ‘Bunda,’, ‘Ummi’, ‘Dik’, dsb, sebab dianggap sebagai zhihar atau penggilan yang membuat terjadinya mahram.
Ada pun di banyak negeri, panggilan tersebut sudah biasa sebagai panggilan keakraban, kasih sayang, dan pemuliaan.
Baca Juga: Bekal Suami Istri dalam Membangun Keluarga
Terlarangkah Memanggil Istri dengan Sebutan ‘Bunda’, ‘Ummi’?
Pihak yang memakruhkan berdalil dengan hadits:
Dari Abu Tamimah Al Hujaimiy, bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada istrinya: “Wahai saudariku.” Maka, Rasulullah saw bersabda: “Apakah dia saudarimu?” Rasulullah membenci itu dan melarangnya.
(HR. Abu Daud No. 2210, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 15146)
Para ulama menilai lemah hadits ini karena mursal. Imam Al Mundziri berkata: “Hadits ini mursal.” (Mukhtashar, 3/136). Al Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Mursal. (Fathul Bari, 9/387). Syaikh Abdul Qadir Al Arnauth mengatakan: “Mursal, dan Abu Daud meriwayatkan apa yang ada di dalamnya terdapat keguncangan (idhthirab).” (Jaami’ Al Ushuul, No. 5819, cat kaki No. 1). Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr juga mengatakan:”Mursal.” (Syarh Sunan Abi Daud, 253) Syaikh Al Albani mengatakan: “Dhaif.” (Dhaif Abi Daud, 2/240-241)
Pemakruhan tersebut menjadi teranulir karena lemahnya hadits ini. Tetapi, anggaplah hadits ini shahih, apakah maksud pemakruhannya?
Para ulama menjelaskan makruhnya hal itu jika dimaksudkan sebagai zhihar, sebagaimana ucapan “kamu seperti ibuku”, tapi jika tidak demikian, melainkan hanya untuk panggilan pemuliaan dan penghormatan (ikram), atau menunjukkan persaudaraan seaqidah dan seiman, maka itu tidak apa-apa.
Imam Al Bukhari dalam Shahihnya, dalam “Bab Seorang Laki-Laki Berkata Kepada Istrinya: Wahai Saudariku, maka Ini Tidak Apa-apa.”
Beliau meriwayatkan, bahwa Nabi saw bersabda:
Berkata Ibrahim kepada istrinya: “Ini adalah saudariku,” dan itu fillah (saudara karena Allah). (HR. Al Bukhari, 7/45, 9/22)
Riwayat ini tentu lebih shahih dibanding riwayat Imam Abu Daud sebelumnya.
Imam Ibnu Baththal Rahimahullah mengatakan:
“Sesungguhnya penjudulan bab oleh Imam Al Bukhari seperti ini –wallahu a’lam– sebagai bantahan buat mereka yang melarang seorang suami memanggil istrinya dengan panggilan: “Wahai Saudariku.”(Syarh Shahih Al Bukhari, 7/409)
Beliau berkata lagi:
Makna dari ketidaksukaan nabi atas hal itu –Wallahu a’lam– karena dikhawatirkan orang yang berkata kepada istrinya: “Ya Ukhtiy -Wahai Saudariku”, atau “ kamu adalah saudariku”, sama kedudukannya dengan orang yang mengatakan: “Bagiku kau seperti punggung ibuku”, atau “seperti punggung saudariku”, maka ini jatuhnya menjadi mahram jika memang dia maksudkan seperti itu. Maka, Nabi saw membimbingnya untuk menjauhi kata-kata yang kontroversi yang dapat membawa pada makna mahram.
Hadits ini (Abu Daud) tidak bertentangan dengan ucapan Nabi Ibrahim kepada istrinya: “Kau adalah saudariku.” Sebab maksud kalimat itu adalah sebagai saudara seagama dan seiman. Maka, barang siapa yang berkata kepada istrinya: “Wahai Saudariku” dan dia berniat sebagaimana Ibrahim, yaitu saudara seagama, maka ini sama sekali tidak apa-apa menurut jamaah para ulama. (Imam Ibnu Baththal, Syarh Shahih Al Bukhari, 7/409-410)
Imam Al Khathabi Rahimahullah menjelaskan bahwa dibencinya memanggil “wahai saudariku” kepada istri jika maksudnya sebagai zhihar, seperti ucapan kamu seperti ibuku, atau seperti wanita lain yang mahram bagi suami, … lalu Beliau berkata:
Umumnya ulama atau kebanyakan mereka sepakat atas larangan itu, KECUALI jika kalimat itu diniatkan untuk karamah (pemuliaan-penghormatan) maka tidaklah itu berkonsekuensi seperti zhihar. Hanya saja para ulama berbeda pendapat jika pengucapan itu tidak ada niat pemuliaan, banyak di antara mereka mengatakan bahwa itu juga tidak ada konsekuensi apa-apa.”
(Imam Al Khathabi, Ma’alim As Sunan, 3/249-250)
Nah, dari penjelasan para ulama ini, jelas bagi kami bahwa pemakruhan memanggil istri dengan “bunda”, “ummi”, atau semisalnya, jika memang itu dimaksudkan sebagaimana zhihar. Ada pun jika panggilan tersebut sebagai bentuk penghormatan suami kepada istrinya, atau pendidikan bagi anak-anaknya, maka tidak apa-apa.
Hal ini sesuai kaidah fiqih:
Berbagai pekara/urusan/perbuatan dinilai sesuai maksud-maksudnya.
(Imam As Suyuthi’, Al Asybah wan Nazhair, Hal. 8. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah. Imam Tajuddin As Subki, Al Asybah wan Nazhair, 1/65. Cet. 1, 1991M-1411H. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah. Syaikh Abdullah bin Sa’id Al Hadhrami Al Hasyari, Idhah Al Qawaid Al Fiqhiyah Lithulab Al Madrasah, Hlm. 11)
Sementara itu, Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah mengoreksi para ulama yang memakruhkan, menurutnya pemakruhan itu tidak tepat.
Beliau berkata:
Jika ada yang bekata: “Kau bagiku seperti ibuku” yaitu dalam hal kasih sayang, penghormatan, dan pujian, maka ini bukan zhihar, karena itu tidak diharamkan. Jika ada yang berkata: “Engkau adalah ibuku,” maka dihitung niatnya apa, jika maksudnya adalah sebagai mahram maka ini zhihar, tapi jika maksudnya pemuliaan maka ini bukan zhihar.
Jika dia berkata: “Wahai Ummi, mari sini makan.” Maka ini bukan zhihar, tetapi sebagian ahli fiqih –rahimahumullah– ada yang memakruhkan suami memanggil istrinya dengan panggilan mahramnya, maka janganlah berkata: “Wahai Ukhtiy, Wahai Ummi, wahai bintiy/anakku,” dan yang semisal itu. Pendapat mereka tidak benar, sebab maknanya seperti telah diketahui maksudnya adalah pemuliaan, maka ini sama sekali tidak masalah. Bahkan, kalimat-kalimat ini dapat melahirkan kasih sayang, cinta, dan kedekatan.
(Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, Asy Syarh Al Mumti’, 13/236)
Sekian. Wallahu A’lam
Farid Nu’man Hasan