PINTU tertutup adalah kondisi saat hati telah tertutup dan tak lagi merasakan kenikmatan beribadah kepada Allah Subhanahu wa taala.
Tulisan dari @yunusaziz pada 17 April 2022 cukup mengingatkan kita akan kondisi ini dan semoga menginspirasi untuk lebih baik lagi.
Kita pernah merasa bosan dan jenuh saat berusaha memelihara amal-amal ketaatan. Merasa berat dan tidak bersemangat lagi untuk meneruskan amal shalih yang sudah pernah kita pahat dalam hidup.
Padahal sejatinya, amal shalih itu seharusnya melahirkan energi baru pelakunya, untuk terus melakukan lebih banyak lagi amal-amal keshalihan.
Amal-amal ketaatan itu sejatinya membuat hidup kita menjadi lebih indah dan kita lebih bersemangat.
Hasan Al Bashri rahimahullah memberi nasihat tentang kenapa amal amal shalih dan ketaatan itu suatu saat bisa tidak memberi pengaruh dan menambah semangat bagi pelakunya. Katanya,
“Carilah kemanisan hidup ini dalam tiga perkara, dalam shalat, dalam dzikir, dan dalam membaca Al Qur’an. Jika kalian tidak mendapatkannya, maka ketahuilah bahwa pintunya dalam keadaan tertutup.”
Pintu Tertutup
Imam Hasan Al Bashri mengatakan hal itu, tentu karena dirinya sudah mengecap kenikmatan hidup yang diperoleh dari tiga perkara itu, ia, tentu sudah mengalami bagaimana hidup menjadi indah dan penuh semangat dengan tiga amal itu.
Kemudian ia juga mengerti, ada keadaan-keadaan tertentu yang menyebabkan amal-amal yang seharusnya memberi kenikmatan tadi, menjadi tidak berfungsi, menghadirkan output sebagaimana mestinya.
Itulah kondisi ‘pintu tertutup’ yang dijelaskan Al Bashri tadi.
baca juga: Pintu Setan dalam Menyesatkan Manusia
Pintu tertutup itu adalah pintu hati yang ditutup oleh pemiliknya sendiri.
Al Bashri mengibaratkan dzikir kepada Allah adalah pintu yang lebar dan besar, yang selalu terbuka dan menghubungkan antara Allah dan hamba-Nya.
Pintu itu akan terbuka selama tidak ditutup sendiri oleh hamba-Nya dengan kelalaiannya.
Mungkin, suasana seperti inilah yang terjadi pada diri kita. Yang merasa sulit mendapatkan ‘energi baru’ dari amal-amal shalih yang kita lakukan.
Yang merasa susah mendapatkan ruh yang hidup tatkala melakukan amal shalih. Yang justru merasa berat menumbuhkan rasa dekat dengan Allah melalui amal-amal ibadah.
Banyak keadaan yang menyebabkan keadaan itu. Antara lain, kita lalai, tidak melibatkan unsur batin dalam mengerjakan amal-amal ketaatan tadi.
Kita melakukan ibadah hanya pada kulitnya saja, tidak sampai menghayati isinya. Kita melakukannya hanya sebatas gerakan-gerakan saja, tanpa menghadirkan hati, perasaan dan pikiran kita di sana.
Lalu, amal-amal ibadah kita menjadi kering.
Imam Al Ghazali banyak menguraikan makna-makna batin yang seharusnya ada dalam hati kita, saat melakukan amal ibadah.
la mengatakan hendaknya setiap amal ibadah dilakukan dengan suasana hudhurul qalb (kehadiran hati). Atau dengan kata lain, berusaha menyertai amal-amal shalih secara lahir, dengan amal-amal batin.
Saat melakukan ruku’ dan sujud dalam shalat misalnya. Al Ghazali mengatakan,
“Rasakanlah kerendahan saat engkau ruku’ dalam shalat. Karena engkau meletakkan jiwamu pada asalnya, yakni tanah. Mengembalikan cabang ke pokoknya, dengan cara bersujud ke tanah yang darinya engkau diciptakan.”[ind]