Chanelmuslim.com – Pemimpin Adil Itu Membatalkan Bantuannya
Adalah Umar bin Abdul Aziz sang pemimpin yang dicintai rakyatnya. Suatu hari ada seorang ibu yang datang menemuinya dirumahnya. Ibu itu diterima oleh istri Umar bin Abdul Aziz dan diminta menunggu.
Istri Umar menyiapkan anggur yang ada dirumahnya untuk disuguhkan pada ibu yang tengah menunggu. Setelah selesai dengan urusannya Umar kemudian menemui sang Ibu yang sepertinya memiliki masalah yang rumit. Sambil mendengarkan keluh kesah sang Ibu, Umar memilihkan anggur yang paling bagus dan menyodorkannya pada sang Ibu. Sang Ibu selalu mengucap “alhamdulillah” setiap Umar memberinya anggur. Umar terus menyuguhkan anggur yang bagus dan segar untuk si Ibu dan menyisihkan yang jelek untuk ia makan bersama keuarganya.
Baca Juga: Menjadi Pemimpin Itu Tidak Mudah
Pemimpin Adil Itu Membatalkan Bantuannya
Umar terkesan dengan pribadi dan adab dari si Ibu. Kemudian Ibu itu menceritakan bahwa ia memiliki 5 anak dan belum satu pun yang mendapat pekerjaan. Umar kaget ia merasa bersalah ada warganya yang masih tidak mendapat pekerjaan. Ia kemudian meminta kertas, menanyakan kepada si Ibu nama anaknya yang pertama. Si Ibu menyebutkan nama anaknya, kemudian Umar manuliskan namanya dan mencantumkan jumlah bantuan yang diberikan. Si Ibu pun sangat senang dan mengucap Alhamdulillah. Begitu selanjutnya sampai anak ke-5, saat Umar baru menuliskan bantuan yang akan diberikan, si Ibu langsung berdiri dari duduknya dan menunduk pada Umar seraya mengucapkan, “Terima Kasih….terima kasih Tuan…”
Umar pun langsung berdiri dan seketika berubah rona wajahnya menjadi merah menahan amarah.
Umar berkata tegas, “Sampai anak keempat, Ibu selalu mengucap alhamdulillah, suatu pernyataan syukur kepada Zat yang berhak menerimanya, karena Dialah pada dasarnya yang mempunyai kuasa memberi dan mengambil. Tetapi giliran anak kelima, Ibu malah berterim kasih kepada saya. Apa sebabnya?”
Si Ibu tampak pucat mukanya. Dengan terbata-bata ia menyahut, “Tuan amat dermawan dan berhati mulian.”
“Maaf ucapan itu tidak layak Ibu limpahkan kepada saya,” Umar menjawab sambil terus memandangi wajah si ibu yang masih oucat dan tertunduk. “Apalah daya saya ini sampai ibu memuji-muji saya? Bukankah segala puji itu hanya milik Allah? Saya ini tidak berdaya dan tidak berbeda dengan ibu. Bahkan didepan Allah, mungkin saya lebih hina karena hisab ibu sangat ringan, sedangkan hisab saya berat sekali. Untuk itu saya hanya berkewajiban memberi bantuan kepada empat anak ibu saja. Sebab hanya untuk mereka ibu telah berterima kasih kepada Zat yang layak dipuja-puja. Tetapi hendaknya bantuan saya itu dibagi-bagikan secara adil buat seluruh kelurga.”
Inilah seorang pemimpin tawadhu yang memahami bahwa hakikatnya kekuasaan adalah milik Allah. Jabatan adalah amanah yang harus dipertanggung jawabkan pada di akhirat kelak. (w)
Sumber : Peri Hidup Nabi & Para Sahabat, Saad Saefullah, Pustaka SPU