Chanelmuslim.com – Abbad bin Bisyir sangat mencintai Allah, Rasul dan agamanya. Kecintaan itu memenuhi segenap perasaan dan seluruh kehidupannya. Sejak Nabi saw. berpidato dan mengarahkan pembicaraannya kepada kaum Anshar, ia termasuk salah seorang di antara mereka. Sabdanya, “Hai golongan Anshar! Kalian adalah inti, sedang golongan lain bagai kulit ari. Maka, tak mungkin aku dicederai kalian.”
Sejak saat itu, yakni sejak Abbad mendengar ucapan ini dari Rasulnya, dari guru dan pembimbingnya kepada Allah, ia rela menyerahkan harta, nyawa dan hidupnya di jalan Allah dan di jalan Rasul-Nya. Karena itu, kita temui dia berada di arena pengorbanan dan medan laga sebagai orang pertama. Sebaliknya, di waktu pembagian keuntungan dan harta pampasan perang, sukar untuk ditemukannya.
Baca Juga: Kecepatan Malaikat Sama dengan Kecepatan Cahaya
Pembawa Cahaya Allah
Di samping itu, ia adalah seorang ahli ibadah yang tekun; seorang pahlawan yang gigih dalam berjuang; seorang dermawan yang rela berkorban, dan seorang mukmin sejati yang telah membaktikan hidupnya untuk keimanannya.
Keutamaannya ini telah dikenal luas di antara sahabat–sahabat Rasul. Aisyah, Ummul Mu’minin, pernah berkata tentang dirinya, “Ada tiga orang Anshar yang keutamaannya tidak dapat ditandingi oleh seorang pun. Mereka adalah Sa’ad bin Mu’adz, Usaid bin Hudhair, dan Abbad bin Bisyir. ”
Orang-orang Islam angkatan pertama mengetahui bahwa Abbad adalah seorang tokoh yang memperoleh karunia berupa cahaya dari Allah. Penglihatannya yang jelas dan memperoleh penerangan, dapat mengetahui tempat-tempat yang baik dan meyakinkan tanpa mencarinya dengan susah-payah. Bahkan, kepercayaan sahabat-sahabatnya mengenai cahaya ini sampai pada tingkat yang lebih tinggi, bahwa ia merupakan benda yang dapat terlihat. Mereka sama sekata bahwa bila Abbad berjalan di waktu malam, terbitlah darinya berkas-berkas cahaya dan sinar yang menerangi baginya jalan yang akan di-tempuh.
Dalam peperangan menghadapi orang-orang murtad se-peninggal Rasulullah saw., Abbad memikul tanggung jawab dengan keberanian yang tiada tara. Apalagi dalam pertempuran Yamamah, di mana kaum muslimin menghadapi balatentara yang paling kejam dan paling berpengalaman di bawah pimpinan Musailamah al-Kadzdzab. Saat itu, Abbad melihat bahaya besar yang mengancam Islam. Maka, jiwa pengorbanan dan kepahlawanannya mengambil bentuk sesuai dengan tugas yang dibebankan oleh keimanannya. Hal itu meningkat ke taraf yang sejajar dengan kesadarannya akan bahaya tersebut hingga men-jadikannya sebagai prajurit yang berani mati, yang tak meng-inginkan yang lain kecuali syahid di jalan Allah.
Sehari sebelum Perang Yamamah itu dimulai, Abbad meng-alami suatu mimpi yang tak lama kemudian diketahui ta’birnya secara gamblang dan terjadi di arena pertempuran sengit yang dicerjuni oleh kaum muslimin.
Abu Sa’id al-Khudri menceritakan mimpi yang dilihat oleh Abbad, begitu pun dengan ta’birnya, serta perannya yang mengagumkan dalam pertempuran yang berakhir dengan syahid-nya.
Abu Sa’id bercerita, “Abbad bin Bisyir mengatakan kepadaku, ‘Hai Abu Sa’id, aku semalam bermimpi melihat langit terbuka untukku kemudian tertutup lagi. Aku yakin bahwa ta’birnya, insya Allah, aku akan menemui syahid.”
“Demi Allah.” ujarku, “itu adalah mimpi yang baik.”
Di waktu Perang Yamamah itu kulihat ia berseru kepada orang-orang Anshar, ‘Pecahkan sarung-sarung pedang kalian dan tunjukkan kelebihan kalian.’ Maka, segeralah menyerbu mengiringinya sejumlah empat ratus orang dari golongan Anshar hingga sampailah mereka ke pintu gerbang taman bunga, lalu bertempur dengan gagah berani.
Ketika itu, Abbad—semoga Allah memberinya rahmat—menemui syahidnya. Wajahnya kulihat penuh dengan bekas sabetan pedang dan aku mengenalinya hanya dengan melihat tanda yang terdapat pada tubuhnya.”
Demikianlah Abbad meningkat naik ke taraf yang sesuai untuk memenuhi kewajibannya sebagai seorang mukmin dari golongan Anshar, yang telah berbaiat kepada Rasul untuk membaktikan hidupnya bagi Allah dan menemui syahid di jalan-Nya.
Ketika pada awalnya ia melihat neraca pertempuran sengit itu lebih berat pada kemenangan musuh, teringatlah olehnya ucapan Rasulullah terhadap kaumnya, golongan Anshar, “Kalian adalah inti. Karena itu, tidak mungkin aku dicederai oleh kalian.”
Ucapan itu memenuhi rongga dada dan hatinya, sehingga, seolah-olah, saat itu Rasulullah masih berdiri mengulang–ulang kata-katanya itu. Abbad merasa bahwa seluruh tang-gung jawab peperangan itu terpikul hanya di atas bahu golongan Anshar atau di atas bahu mereka sebelum golongan lainnya. Ketika itu, ia naik ke atas sebuah bukit lalu berseru, “Hai golongan Anshar! Pecahkan sarung–sarung pedang kalian dan tunjukkan keistimewaan kalian dari golongan lain.”
Ketika seruannya dipenuhi oleh empat ratus orang pejuang, Abbad bersama Abu Dujanah dan Barra’ bin Malik mengerahkan mereka ke taman maut, suatu taman yang diguna-kan oleh Musailamah sebagai benteng pertahanan. Pahlawan besar itu pun berjuang sebagai seorang laki–laki; sebagai seorang mukmin; dan sebagai seorang warga Anshar.
Pada hari yang mulia itu, pergilah Abbad menemui syahidnya. Tidak salah mimpi yang dilihat dalam tidurnya semalam. Bukankah ia melihat langit terbuka, kemudian setelah ia masuk ke celahnya yang terbuka itu, tiba-tiba langit bertaut dan tertutup kembali. Mimpi itu ditakwilkannya bahwa pada pertempuran yang akan terjadi ruhnya akan naik ke haribaan Tuhan dan Penciptanya.
Sungguh benar mimpi itu dan benar pula ta’birnya. Pintu-pintu langit telah terbuka untuk menyambut ruh Abbad bin Bisyir dengan gembira, yakni seorang tokoh yang oleh Allah diberi cahaya. []
Sumber : Biografi 60 Sahabat Nabi, Penerbit Al Ithishom