ChanelMuslim.com – Menghadapi wabah haruslah dengan ilmu agar tidak berujung bertambahnya petaka dari wabah tersebut.
Pada saat-saat genting seperti ini, sangat penting untuk mengikuti arahan ulama dan ahli medis.
Jangan sampai hanya bermodal semangat tanpa ilmu, maka akan lebih banyak merusak dibandingkan memperbaiki.
Kita hanya takut pada Allah, tak takut pada Covid-19. Namun, justru karena takut pada Allah, maka laksanakanlah sunnatullah yang perlu diikhtiarkan.
Baca Juga: Yuk Hafalkan Doa Berlindung dari Wabah Penyakit
Belajar Menghadapi Wabah dari Ulama Terdahulu
Kalimat-kalimat di atas dikutip dari channel telegram Generasi Shalahuddin.
Kita bisa belajar dari para ulama terdahulu yang sudah banyak menulis buku-buku tentang treatment menghadapi bencana yang terjadi pada zaman dahulu.
Dilansir dari channel telegram yang sama, dijelaskan juga bahwa Dr. Ali Muhammad Audah menghimpun 24 kitab sepanjang zaman yang mengisahkan bagaimana umat mengalami bencana.
Dalam hal ini, maksudnya adalah wabah penyakit dan bagaimana pemerintah mereka melakukan penanggulangannya.
Salah satu pelajaran penting yang perlu kita garis bawahi adalah kisah yang ditulis Imam Ibnu Hajar Al Asqalani.
Kitab Imam Ibnu Hajar
Dalam kitabnya, “Badl Al Maun fi Fadhli At Tha’un”, Imam Ibnu Hajar mengisahkan bahwa tahun 749 Hijriah atau sekitar tahun 1348 Masehi, terjadi wabah penyakit menyerang kota Damaskus.
Banyak ulama memberi arahan agar manusia tidak berkumpul dan agar menjauhi keramaian.
Namun, orang-orang justru tak mendengarkan.
“Kemudian, manusia keluar menuju lapangan luas, disertai para petinggi negara.
Mereka berdoa dan meminta pertolongan Allah secara beramai-ramai.
Namun, wabah itu makin besar, padahal sebelum mereka berkumpul, korbannya hanya sedikit.” (hal. 329)
Imam Ibnu Hajar pun mengisahkan apa yang terjadi di eranya.
“Pernah juga terjadi di zaman kita ketika sebuah wabah menjangkiti Kairo.
Pada tanggal 27 Rabiul Akhir tahun 833 Hijriah (tahun 1430 Masehi) awalnya korban meninggal kurang dari 40 orang.
Namun, kemudian orang-orang keluar ke tanah lapang pada 4 Jumadil Ula setelah sebelumnya melakukan puasa 3 hari sebagaimana yang mereka lakukan ketika akan Shalat Istisqa.
Mereka berkumpul untuk berdoa kemudian pulang ke rumah masing-masing.”
Imam Ibnu Hajar melanjutkan, “Tidak sampai sebulan setelah mereka berkumpul, jumlah korban malah meningkat menjadi 1000 orang per hari dan terus bertambah.” (hal. 329)
Beberapa orang waktu itu asal memberi fatwa bahwa berkumpul untuk berdoa itu perlu karena beranggapan umumnya begitu.
Ada juga yang bilang bahwa dulu di zaman seorang raja bernama Al Muayyad hal itu terjadi dan wabah bisa hilang.
Baca Juga: PKS DKI Bikin Acara Dzikir, Anis: Upaya Meraih Ketenangan Jiwa di tengah Wabah Pandemi Covid 19
Jangan Meremehkan Ikhtiar Manusiawi
Sementara itu, Dr. Majdi Al Hilali menulis dalam kitabnya “Innahu al Qur’an Sirru Nahdhatina”
Sebuah umat yang menyepelekan ikhtiar manusiawi artinya sudah mengkhianati Allah.
Alasannya adalah karena Allah memberikan pada manusia hukum sebab akibat.
Orang yang tidak peduli dengan itu tandanya tidak mensyukuri nikmat Allah.
Ikhtiar manusiawi itu bisa dalam bentuk physical distancing dan di rumah saja.
Selain itu, dengarkanlah fatwa ulama tentang menghindari keramaian, termasuk himbauan untuk sementara waktu tidak shalat Jumat dulu di masjid.
Keputusan itu semuanya diambil dengan dalil dan dengan musyawarah yang panjang, bukan dengan ego dan kepentingan pribadi.
Nyawa seorang manusia itu mahal harganya.
Umar bin Khattab yang imannya tinggi pun ketika diberi pilihan suatu hari untuk datang ke daerah wabah atau kembali ke Madinah, Umar memilih untuk pulang ke Madinah.
Kalimatnya yang terkenal adalah kita pergi dari takdir Allah ke takdir Allah yang lain.
Dalam tulisan di channel telegram ini, kita juga diingatkan untuk mengambil pelajaran dari sejarah di atas agar kita mawas dan tak jatuh dua kali.
Selain itu, semoga ketika wabah sudah selesai, masjid kembali ramai dan kajian bisa kembali penuh.
Semua itu bisa terwujud bermula dari menjaga diri kita dan ikuti arahan orang-orang berilmu. [Ind/Camus]