MEMBINCANG Worldview, artikel yang ditulis Djoko P. Abdullah ini mengulas tentang para pemikir Muslim yang memulai dan dianggap concern dalam membincang masalah peradaban.
Ibnu Khaldun menyaksikan dari dekat lahir dan runtuhnya negara-negara Muslim pada saat itu, khususnya negara-negara yang berada di kawasan Afrika Utara, termasuk dinasti-dinasti Islam di Andalusia.
Ia menulis dan merenungkan semua yang ia lihat, membuat rumusan dan kesimpulan teoritis, khususnya terkait dengan fenomena politik, ekonomi, dan sosial yang berhubungan langsung dengan kehidupan manusia dalam sebuah negara.
Sampai saat ini, berbagai gagasannya tentang negara terus dikaji, baik oleh ilmuwan Barat maupun Timur.
Sebagian ilmuwan menyebutnya sebagai bapak sosiologi, sementara yang lain menyebut sebagai sejarawan, tetapi ada juga yang menyebut dengan dua julukan di atas sekaligus.
Tentu kesimpulan ini berangkat dari karya magnum opusnya; Muqaddimah.
Sejarawan terkemuka Arnold Toynbee pernah mengatakan bahwa Muqaddimah, adalah buku sejarah terhebat yang pernah ada.
Ibnu Khaldun juga memiliki perspektif sosiologis, terutama idenya tentang kemewahan dan dampaknya terhadap melemahnya asabiyyah, atau solidaritas kelompok.
Konsep inilah yang terpenting dibahas dalam tulisan-tulisannya dan dianggap sebagai benih teori tentang siklus bangkit dan jatuhnya sebuah bangsa. (The cycle of rise and fall of a nation).
Membincang Worldview
Ilmuwan lain yang concern bicara Peradaban adalah Malik bin Nabi.
Cendekiawan Muslim sekaligus filsuf yang banyak menulis tentang masyarakat manusia, khususnya masyarakat Muslim dengan fokus pada alasan di balik jatuhnya peradaban Muslim.
Menurut Malik bin Nabi, kurangnya ide-ide baru dalam pemikiran Islam memunculkan apa yang disebutnya sebagai kebangkrutan peradaban.
Ia berpendapat bahwa untuk memulihkan kejayaannya, masyarakat Islam harus menjadi lingkungan di mana individu merasa diberdayakan.
Untuk memenuhi kebutuhan spiritual dan materialnya, seorang Muslim perlu merasa bahwa industri dan kreativitasnya akan mendapat imbalan.
Sementara di tanah air, cendekiawan Muslim Modern Prof. Dr. Hamid Fahmy Zarkasy, baru-baru ini Menguraikan tentang negara bangsa (nation state) yang sekarang berubah menjadi negara peradaban (civilizational state).
Dia mengambil contoh China yang sekarang lebih suka disebut sebagai negara Peradaban karena pengaruh negara ini sudah merasuk ke negara-negara lainnya.
Indonesia yang bahasanya banyak mengambil istilah dari Islam yang menujukkan lebih dari sebuah negara bangsa.
Salah satu contoh seperti dalam Pancasila terdapat sila ‘Kemanusiaan yang adil dan beradab’. Jadi kalau Indonesia berperan aktif dalam menyelesaikan konflik di Palestina maka itu bagian dari sebuah upaya untuk menghentikan kebiadaban.
Indonesia sangat memiliki peluang besar untuk menjadi negara Peradaban .
Secara historis perkembangan ilmu pengetahuan yang berperadaban di Jazirah Arab ( \Kekhalifahan Bani Umayah, Bani Abbasiyah dan Turki Utsmani) adalah dengan menginternalisasi nilai-nilai agama dalam setiap aktivitas kehidupan sehingga Peradaban Islam muncul ke pentas dunia.
Sebab Islam bisa melahirkan ilmu dan ilmu bisa melahirkan peradaban.
Setiap orang memiliki cara pandang berbeda dalam melihat sesuatu. Kita sebagai muslim, sudah seharusnya untuk selalu berkacamata pada pandangan Islam.
Karena tidak semua cara pandang itu sejalan dengan syariat Islam. Oleh karena itu, untuk meluruskan pandangan dan meluruskan pikiran, kita harus mengetahui terlebih dahulu apa itu Islamic Worldview?
Beberapa definisi worldview bisa kita peroleh dari berbagai tokoh seperti Ninian Smart (pakar kajian budaya) dan Thomas Wall (pakar teologi), worldview merupakan keyakinan dasar (basic belief) yang berdampak kepada pikiran, perasaan, hingga perbuatan seseorang.
Dalam Islam, worldview bermula dari syahadat dan berdampak secara sistemik kepada seluruh aspek kehidupan.
Contoh kongkritnya adalah ketika kafir Quraisy yang nota bene tidak pernah meragukan kejujuran Rasul Shallallahu alaihi wa sallam berkumpul di bukit Shafa, secara aklamasi menolak untuk bersyahadat.
Hal itu karena mereka menyadari bahwa menerima konsep syahadat sama dengan mengubah pandangan hidup mereka.
Hal itu berarti mereka harus mengakhiri seluruh tradisi yang selama ini mereka jalani.
Mereka sangat paham bahwa dengan bersyahadat, konstruksi kesadaran mereka berubah, dan puncaknya, realitas sosialnya juga berubah.
Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi, mengupas istilah islamic worldview dari para pemikir Islam abad XX.
Pertama, al-Maududi, pendiri Jama’at-e Islami yang menggunakan istilah Islam-i Nazariyat.
Menurut al-Maududi, pandangan hidup bermula dari syahadat, lalu berimplikasi kepada seluruh kegiatan manusia.
Kedua, Atif al-Zain, murid an-Nabhani pendiri Hizbut Tahrir, yang menggunakan istilah al-Mabda’ al-Islami.
Menurutnya mabda’ adalah kepercayaan yang rasional atau berdasarkan pemikiran.
Ketiga, Sayyid Quthub, yang menggunakan istilah at-Tashawwur al-Islami.
Menurutnya, tashawwur berarti keyakinan asasi yang terbentuk dalam pikiran dan hati seorang muslim, yang memberikan penjelasan mengenai wujud dan apa-apa yang ada di baliknya.
Keempat, Naquib al-Attas yang menggunakan istilah Ru’yatul Islam lil Wujud.
Menurutnya, ru`yah berarti pandangan islam tentang realitas dan kebenaran yang nampak oleh mata hati seseorang dan menjelaskan mengenai hakikat wujud.
Dari berbagai definisi, worldview menurut para cendekiawan muslim di atas, dapat disimpulkan bahwa Islam memiliki cara pandang tersendiri terhadap kebenaran, kenyataan dan kehidupan.
Meski begitu, jika dicermati, penjelasan al-Maududi lebih mengarah kepada kekuasaan Tuhan yang mewarnai segala aktivitas kehidupan manusia dan berimplikasi terhadap politik.
Adapun Atif al-Zayn dan Sayyid Quthub, lebih cenderung memahaminya sebagai seperangkat doktrin kepercayaan yang rasional, yang implikasinya ialah ideologi.
Sedangkan Naquib al-Attas lebih tegas lagi dalam memaknai worldview secara metafisis dan epistemologis. Wallahu a’lam.[ind]