IBADAH haji termasuk gabungan ibadah badaniyah dan maliyah, yakni ibadah yang menggunakan aspek badan dan harta.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat Ali-Imran ayat 97:
وَلِلّٰهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلًاۗ وَمَنْ كَفَرَ فَاِنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعٰلَمِيْنَ
(Di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, (yaitu bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Siapa yang mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu pun) dari seluruh alam.
Dalam kitab Fiqhus Sunnah dijelaskan makna Istitha’ah (mampu), yaitu meliputi badan sehat, ada biaya, tersedia kendaraan, negara aman.
Untuk saat ini, masuk kuota juga menjadi penentu keberangkatan haji.
Motivasi haji agar meraih gelar haji mabrur dimana balasannya langsung dengan surga.
Disebutkan dalam hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
Follow Official WhatsApp Channel chanelmuslim.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.
Tidak ada balasan (yang pantas diberikan) bagi haji mabrur kecuali surga. (HR. Bukhari).
Hanya saja haji mabrur bukan gelar akuan sendiri, gelar yang bisa dibeli, atau gelar sematan dari manusia, bukan pula gelar pemberian penyelenggara.
Ia hanya gelar dari sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Bila membaca berbagai pendapat, setidaknya ada empat faktor yang menjadikan haji itu bernilai mabrur.
Pertama, ikhlas. Semua ibadah termasuk haji mesti diniatkan hanya karena Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak mencari prestasi dan prestise selain mengharap ridha Allah.
Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju. (HR. Bukhari Muslim).
Baca juga: Materi Kultum, Tafakur Dalam 5 Hal (1)
Materi Kultum, Haji Mabrur
Kedua, harta halal. Biaya yang digunakan untuk haji mesti dari sumber yang halal.
Setiap ibadah harta yang berasal dari yang haram tidak akan diterima di sisi Allah Subhanahu wa Ta’la.
Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah itu thoyyib (baik). Allah tidak akan menerima sesuatu melainkan dari yang thoyyib (baik). (HR. Muslim).
Tidaklah diterima shalat tanpa bersuci, tidak pula sedekah dari ghulul (harta haram). (HR. Muslim).
Jika seseorang melakukan haji dengan harta yang tidak halal, lalu dia membaca talbiyah ‘labbaika wa la sa’daika’, maka Allah menjawab: “Tidak ada ‘labbaika wa la sa’daika’, hajinya ditolak”. (HR. Ibnu Adi, Dailami dan Al-Bazzar).
Sumber: Kultum 100 Judul – Ust. Lathief Abdallah
[Sdz]