ChanelMuslim.com – Kisah Pasien yang Sembuh dari Corona (Tulisan Istri Seorang Dokter Pulmonolog)
Sejak awal bulan ini, setiap hari, antara pukul 23.00 hingga 01.00, saya membukakan pintu untuk suami yang baru pulang dari tugasnya di Rumah Sakit.
Menemaninya berbincang sebentar sebelum tidur. Sebetulnya ia amat sangat lelah. Namun sudah menjadi kebiasaannya, setiap malam sepulang bekerja selalu mengajak saya berbincang tentang pekerjaannya hari itu.
Dan Alhamdulillah… Allah menanamkan rasa ketertarikan pada saya untuk mendengarkannya. Karena banyak sekali ilmu yang teramat berharga yang bisa saya peroleh dari perbincangan singkat itu.
Baca Juga: Hijab Sekali Pakai Mencerahkan Hari Pasien Muslim di Mayo Clinic
Kisah Pasien yang Sembuh dari Corona
Saat ini musim pandemi Covid-19. Setiap malam saya memperoleh informasi gratis mengenai Covid ini, yang jelas real dan bukan hoax.
–
Sebagai seorang pulmonolog, yaitu ahli paru dan saluran pernafasan, ia menjadi pemegang kendali penanganan Covid-19 di tiga Rumah Sakit tempatnya bertugas.
Qoddarullah…di dua Rumah Sakit, hanya suami saya seorang diri yang bertugas sebagai pulmonolog. Karena teman-temannya sedang off. Ada yang sedang cuti bersalin, beberapa dirumahkan akibat berinteraksi dengan penderita positif Covid-19 tanpa mengenakan APD di awal pandemi, ada juga yang dirumahkan karena usianya cukup lanjut sehingga rawan terimbas bahaya Covid-19.
Dengan ilmu yang dimilikinya, ialah yang menentukan apakah seseorang suspect Covid-19 atau tidak. Screening ini dilakukan oleh dokter jaga di IGD di bawah monitoring suami saya. Karena jika tidak… Rumah Sakit berkali-kali “kecolongan” di mana pasien masuk dengan keluhan “selain gejala Covid-19” ke IGD, ternyata beberapa hari kemudian setelah dirawat di ruangan biasa dengan penanganan sebagai pasien biasa, pasien mulai menunjukkan gejala Covid-19. Setelah diuji swab, ternyata positif. Betapa hal ini menggegerkan banyak orang yang pernah berinteraksi dengan penderita.
Maka…dalam waktu seminggu… lebih dari 50-an orang petugas medis menjadi ODP (orang dalam pengawasan) Covid-19. Di antaranya, ada yang kemudian positif terpapar Covid-19 dan bahkan ada yang meninggal dunia.
Belajar dari kasus-kasus itu maka dilakukan screening ketat pada pasien-pasien yang datang ke IGD. Hasilnya diinfokan ke suami saya, untuk bisa diambil langkah selanjutnya. Jadi…bisa dibayangkan betapa beratnya beban tugas suami saya?
Entah berapa ratus pasien dalam sehari harus ia beri keputusan atasnya. Maka tak heran… jam kerjanya bisa 17-18 jam dalam sehari dengan tidur hanya 4 jam saja.
Dari semua cerita suami, saya merangkum kisah mengenai para penderita Covid-19 ini menjadi beberapa kriteria.
Pertama. Penderita Covid-19 positif yang berat dan penuh kecemasan. Penderita jenis ini, tidak mampu bertahan lebih lama karena efek pengobatan menjadi lemah akibat psikologis yang amat rapuh.
Ya, tubuhnya tak bisa “diajak bekerja sama” untuk sembuh karena psikosomatis yang sangat berat. Akhirnya…perjalanan sakitnya pasien ini berujung di kamar jenazah.
Kedua. Penderita positif Covid-19 yang berat namun sabar dan tawakkal pada Sang Pemberi Kehidupan. Pasien jenis ini cepat berangsur membaik bahkan sudah bisa berjalan-jalan di ruang isolasinya dan kembali tertawa ceria.
Suami pernah bertanya pada seorang pasien laki-laki berusia 34 tahun, “Kemarin itu kenapa sih, napasmu kelihatan berat banget? Sampai meringis-ringis?”
Jawabnya, “Yaa Allah…Dok…! Menarik udara masuk ke sini (menunjuk dada) saja sudah susah banget, ditambah rasanya juga perrriiiih banget di setiap tarikan. Kaya ada serpihan kaca menusuk-nusuk di dalam, Dok!”
Subhanallah… berat sekali penderitaannya. Namun kini…segala puji bagi-Mu Yaa Robb… ia sudah sehat kembali. Setiap suami saya visit, kedapatan ia sedang mendengarkan kajian Islam di gadgetnya. Kalau tidak, suara murottal yang terus berkumandang.
Ya, sakitnya bukan penghalang untuknya semakin dekat dan pasrah pada Allah. Maka kekuatan dan kembali sehat pun menjadi akhir untuk sakitnya.
Ada kasus lain. Pasien usia lanjut yang juga kondisinya sudah berat. Allah memberinya anak yang sholih dan sangat berbakti sehingga anak ini memaksa kepada pihak Rumah Sakit untuk bisa menemani ibunya di ruang isolasi.
Anaknya selalu mendampingi ibunya sambil membaca Alquran, menghibur ibunya dan banyak bertanya kepada perawat tentang cara merawat ibunya supaya ia tidak perlu sering meminta bantuan perawat. Ia sangat paham betapa beratnya tugas para perawat ini di masa pandemi ini.
Kehadiran anaknya yang memotivasi ibunya ini membuat ibunya berangsur sembuh. Suami saya baru saja menjawab pertanyaan saya tentang ibu ini. “Insyaa Allah besok sudah bisa pulang.” Allahu akbar…! Padahal ibu ini ada co morbid karena usia lanjut. Namun Allah mengizinkannya sembuh…!
Ketiga. Penderita Covid-19 ringan yang hatinya diliputi kecemasan dan kepanikan. Penderita ini, tak seberat jenis kedua tadi. Hanya ada sesak sedikit dan demam.
Setiap kali suami saya visit, pasien ini sangat banyak bertanya dan tidak mau dokternya pergi. Ketakutannya begitu besar. Yang menambah masalah adalah, istrinya sejak awal memaksa dengan berbagai cara untuk bisa menemani di ruang isolasi.
Dengan berat hati pihak Rumah Sakit mengizinkan. Namun ternyata ini berdampak buruk. Karena istrinya ini juga punya kadar kecemasan, ketakutan dan kepanikan yang sama dengan sang suami. Setiap hari, kerjanya hanya memarahi perawat yang sangat sering dipanggilnya untuk hal yang tidak urgent. Apa yang terjadi?
Pada hari ketiga, suaminya pun meninggal dunia. Padahal kondisi parunya sesungguhnya masih di level “aman”. Ketakutan berlebihanlah yang membuat maut cepat menghampirinya.
Keempat. Penderita positif Covid-19 ringan yang selalu berusaha untuk tenang, sabar dan tawakkal. Pihak Rumah Sakit tidak bisa menginapkannya karena kapasitas ruang isolasi penuh.
Maka mereka menjalani perawatan di rumah saja dengan mendapat obat dan pemantauan dari suami saya. Hari ini memasuki hari ke-15 dan kondisi mereka semakin membaik. Tidak ada lagi demam, sakit kepala ataupun pemberat lainnya.
Kelima. Penderita positif Covid-19 yang sangat berat dan sudah tak sadarkan diri. Pasien ini sudah memasuki end stage, di mana kesembuhan adalah mukjizat dari Allah. Namun sampai saat ini, suami saya belum melihat mukjizat itu datang sehingga perjalanan sakitnya pasien ini berujung di kamar jenazah.
Nah…dari kelima kriteria pasien di atas, sangat jelas terlihat. Penyakit seberbahaya Covid-19 dapat sembuh apabila hati penderitanya diliputi ketenangan, pasrah dan tawakkal pada Allah, menggantungkan hidup sepenuhnya pada Allah sambil yakin sepenuhnya bahwa Allah akan menyembuhkan sakitnya.
Yang menyembuhkan bukan obat. Namun rahmat Allah pada mereka yang mau mendekat kepada-Nya.
Jadi…apakah mereka yang wafat semuanya itu tidak sabar dan tidak tawakkal…? Nanti dulu….. Jangan menyimpulkan seperti itu…!
Kisah di atas adalah kisah yang mewakili puluhan pasien positif Covid-19 yang ditangani oleh suami saya. Adapun selainnya, saya yakin, Allah Maha Tahu bahwa kematian lebih baik baginya karena Allah menghadiahinya dengan syahid yang menjadikan Surga nan indah sebagai tempat kembalinya.
Dan kabar baik lainnya adalah atas izin Allah, sudah banyak pasien Covid-19 yang sudah sehat sehingga sudah dipulangkan kembali ke rumahnya masing-masing.
Semoga wabah ini segera berakhir.[ind]
Sumber: FB Iin Indriyani (Istri dr. Iwan, Sp.Paru di RS Haji, Jakarta Timur). Semoga beliau dan keluarga serta nakes lainnya diberi kesehatan. Amiin.