JAZEERA Rawda, tempat sejarah bermula. Semilir angin berhembus perlahan. Pokok-pokok kurma terlihat rindang. Air sungai mengalir tenang tanpa riak.
Hangatnya mentari seakan melengkapi alam yang bertasbih pagi itu.
Mata-mata sayu itu memandang ke kejauhan. Padang pasir dan butiran debu terasa asing. Tak sama dengan gundukan salju yang sering mereka lihat selama ini.
Perlahan perahu itu menepi di dermaga. Seorang berbadan kekar meminta mereka segera turun dan berbaris. Dihitungnya jumlah anak itu. Setelah lengkap, diangsurkan sekantung uang ke tukang perahu.
Anak-anak berkulit putih itu adalah budak belian. Budak yang dibeli dari orangtuanya yang merdeka. Mereka dibawa berlayar dari stepa di Asia Tengah menuju jazeera Rawda atau pulau Rawda di Mesir.
Di tempat itulah kamp militer didirikan. Dilatih mengayunkan pedang dan menguasai ilmu perang. Kelak mereka dikenal sebagai Mamluk Bahriyyah atau Mamluk Bahri, alias para budak lautan.
Awalnya mereka hanya digaji sebagai tentara rendahan yang bertugas di garis depan.
Namun lama-lama, mereka semakin mendekat ke kekuasaan dan akhirnya menjadi penguasa di Mesir, Syam, hingga sebagian anak benua India.
Uttiek M. Panji Astuti menceritakan perjalanannya ke Mesir dalam unggahannya pada 13 Maret 2023 sebagai berikut.
Saya terpekur lama. Barangkali pemandangan yang sama yang saya saksikan pagi ini yang dilihat para Mamluk Bahri itu dari atas kapalnya.
Lokasi itu kini dikenal sebagai Al Manial. Jaraknya sekitar 4 km dari pusat kota Kairo. Naik taxi online pun tak mahal, sekitar 50 Le atau Rp25.000.
Kamp militer di atasnya sudah tidak ada lagi. Kini menjadi beberapa museum dan destinasi wisata. Seperti Museum Nilometer, Museum Ummi Khulsum, Prince Muhammad Ali Palace atau Al Manial Palace.
Kita harus menyeberang jembatan besi kuno untuk sampai ke lokasi itu. Jembatan itu diberi nama Al-Manistarli.
Sejauh mata memandang terlihat taman yang rindang. Pohon kurma yang kokoh dan aneka bunga menyegarkan pandangan mata, setelah berhari-hari berada di Kairo yang berselimut debu.
Tiket masuknya seharga 40 Le atau Rp20.000 untuk umum, dan 20 Le atau Rp10.000 untuk pelajar dan mahasiswa. Tapi kalau mau masuk Museum Ummi Khalsum harus membayar tiket lagi.
Baca Juga: Islam Memanggilmu
Jazeera Rawda Tempat Sejarah Bermula
View this post on Instagram
Memasuki gerbang, saya terkejut melihat patung pria berjubah dan berserban khas Seljuk. Patung seperti itu umum terlihat di negara-negara Stan, namun tak lazim di Mesir.
Ternyata itu ada patung cendekiawan Muslim bernama Abul-Abbas Ahmad ibn Muhammad ibn Kasir al Farghani atau Ahmad Al Farghani (798-865), yang di Barat dikenal sebagai Alfraganus.
Ia seorang fisikawan, matematikawan, astronom dan insinyur. Dalam biografinya, jejaknya yang paling mendalam adalah saat ia membangun konstruksi Nilometer.
Alat untuk mengukur debit air Sungai Nil. Alat ini sangat vital untuk menentukan kapan musim paceklik tiba, dan kapan banjir akan menghadang.
Ahmad Al Farghani juga tercatat pernah membantu Al Khawarizmi (ilmuwan penemu algoritma yang masih digunakan dalam dunia digital hingga hari ini) di Baitul Hikmah, Baghdad.
Ia terlibat dalam proyek perhitungan meridian bumi di Gurun Sanjar, Irak.
Islam telah membuktikan bahwa menjelajah bumi bukan hal yang asing lagi. Para Mamluk Bahri dibawa dari Ferghana, Samarkand, Bukhara untuk menjadi budak belian yang dilatih menjadi pasukan perang.
Dari tempat yang sama, jauh sebelum para budak itu datang, telah ada cendekiawan asal Ferghana yang mampu membuat perhitungan rumit untuk kesejahteraan rakyat Mesir.[ind]