HIDUP sepenuh syukur ditulis oleh Cahyadi Takariawan yang menceritakan tentang pertemuan Khalifah ar-Rasyid dengan seorang Arab.
Suatu ketika, seorang Arab menemui Amirul Mukminin Ar-Rasyid.
Ia berkata, “Wahai Amirul Mukminin. Semoga Allah senantiasa memberikanmu nikmat dan mengokohkanmu untuk mensyukurinya”.
“Semoga Allah juga memberikan nikmat yang engkau harap-harap dengan engkau berprasangka baik pada-Nya dan terus menerus dalam melakukan ketaatan pada-Nya.
“Semoga Allah juga menampakkan nikmat yang ada padamu namun tidak engkau rasakan, semoga juga engkau mensyukurinya,” lanjut orang itu.
Ar-Rasyid terkagum-kagum dengan ucapan orang ini. Lantas beliau berkata, “Sungguh bagus pembagian nikmat menurutmu tadi.”
Berdasarkan keterangan tersebut, Imam Ibnul Qayyim dalam kitab Al-Fawa’id membagi nikmat menjadi tiga bagian.
Pertama, nikmat yang tampak di mata manusia. Kedua, nikmat yang diharapkan kehadirannya. Ketiga, nikmat yang tidak dirasakan manusia.
Nikmat yang tampak di mata bersifat fisik dan material. Misalnya, rumah, motor, mobil, harta, tanah, kebun, binatang ternak, dan lain sebagainya.
Semuanya mudah dipahami sebagai nikmat, karena bercorak fisik dan tampak di depan mata manusia. Seperti apapun kondisi rumah, motor, mobil dan lain sebagainya, adalah nikmat yang mudah terlihat oleh manusia.
Nikmat yang diharapkan kehadirannya adalah sikap dan keadaan yang diharapkan untuk dimiliki manusia, seperti sikap istiqamah, kemampuan untuk selalu mentaati perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya, bahkan kemampuan untuk selalu bisa bersyukur.
Baca Juga: Jangan Berhenti Bersyukur dan Beramal
Hidup Sepenuh Syukur
Itu semua adalah hal yang diharapkan kehadirannya oleh manusia, maka ketika manusia memiliki sikap dan keadaan tersebut, itulah nikmat Allah.
Sedangkan nikmat yang tidak dirasakan atau tidak disadari adalah hal-hal yang rutin sebagai pemberian Allah kepada seluruh alam semesta sehingga dianggap sebagai hal yang biasa.
Misalnya, sinar matahari, air, oksigen, gravitasi, dan lain sebagainya, adalah nikmat yang luar biasa dari Allah namun sering tidak dirasakan sebagai karunia Allah.
Sayangnya, manusia selalu merasa tidak puas dengan apa yang ada. Mereka terus menuntut yang lebih dan lebih, hingga tidak pernah merasa bahagia.
Banyak manusia cenderung lebih fokus kepada apa yang tidak mereka miliki, ketimbang mensyukuri berbagai macam hal yang sudah mereka miliki.
Ibnu Az Zubair pernah mengatakan, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
Seandainya manusia diberi lembah penuh dengan emas, maka ia masih menginginkan lembah yang kedua semisal itu. Jika diberi lembah kedua, ia pun masih menginginkan lembah ketiga.
Perut manusia tidaklah akan penuh melainkan dengan tanah. Allah tentu menerima taubat bagi siapa saja yang bertaubat” (HR. Bukhari).
Andai saja manusia pandai bersyukur, niscaya itu akan membahagiakan hatinya. Membuat dirinya selalu puas dan ridha dengan pemberian dan karunia dari Allah.
Seberapapun karunia yang Allah berikan, selalu disyukuri dengan sepenuh hati.
Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang tidak mensyukuri yang sedikit, maka ia tidak akan mampu mensyukuri sesuatu yang banyak.” (HR. Imam Ahmad).
Pada kenyataannya, manusia tidak akan bahagia ketika mereka selalu fokus kepada apa yang tidak mereka miliki.
Bahagia itu adalah ketika pandai bersyukur atas setiap nikmat dan anugrah yang Allah berikan kepada kita.
Manusia selalu menderita ketika mereka mengkesali hal-hal yang tidak mereka miliki, atau menghendaki apa yang bukan milik mereka.
Sangat banyak nikmat Allah, namun mereka tidak mensyukurinya. Sedangkan hal-hal yang belum Allah berikan kepada mereka, selalu mereka ingat dan mereka gugat.
Ini yang membuat manusia tidak bahagia, dan justru menderita.
Padahal bisa jadi hal-hal yang belum ia miliki, karena ditunda pemberian oleh-Nya, atau karena dalam hal yang tidak diberikan tersebut ada keburukan yang Allah ingin hindarkan dari dirinya.
Sayang, manusia terus menerus terobsesi untuk hal-hal yang tidak mereka miliki, dengan mengabaikan dan tidak mensyukuri hal-hal yang sudah mereka miliki.
Ketika Allah memberikan rezeki yang banyak dan melimpah, kadang manusia lalai dan tidak bersyukur. Ia merasa rejeki itu karena hasil usahanya sendiri.
Sedangkan ketika manusia diuji dengan kekurangan rejeki, mereka mengeluh dan meratapi nasib seakan-akan tidak pernah mendapat nikmat dari Allah.
Sesungguhnyalah nikmat Allah yang diberikan kepada manusia tidak terhingga, tidak bisa kita menghitungnya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
“Dan Dia telah memberimu (keperluanmu) dari segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghitungnya. Sesungguhnya manusia itu sangat lalim dan banyak mengingkari (nikmat Allah).” QS. Ibrahim: 34.
Mari selalu bersyukur, dengan itu kita akan selalu bahagia.[ind]