TAHUKAH Sahabat Muslim bahwa ada ghibah yang diperbolehkan? Syaikh Salim Al-Hilali berkata: “Ketahuilah bahwasanya ghibah diperbolehkan untuk tujuan yang benar, yang sesuai syari’at, yang tujuan tersebut tidak mungkin bisa dicapai kecuali dengan ghibah itu.”
Baca Juga: Mengapa Masih Hobi Berghibah?
Ghibah yang Diperbolehkan
Hal-hal yang membolehkan ghibah itu ada enam (sebagaimana disebutkan oleh An-Nawawi dalam Al-Adzkar), sebagaimana tergabung dalam suatu syair :
“Celaan bukanlah ghibah pada enam kelompok;
Pengadu, orang yang mengenalkan, dan orang yang memperingatkan.
Dan terhadap orang yang menampakkan kefasikan, dan peminta fatwa.
Dan orang yang mencari bantuan untuk menghilangkan kemungkaran.”
1. Pengaduan
Orang teraniaya dibolehkan mengadu kepada sultan (penguasa) atau hakim dan yang lainnya, yang memiliki kekuasaan dan kemampuan untuk mengadili orang yang menganiaya dirinya.
Maka dia (boleh) berkata: “Si fulan telah menganiaya saya demikian dan demikian”. Firman Allah:
“Allah tidak menyukai ucapan yang buruk (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya.” (QS. An-Nisa:148).
Pengecualian yang terdapat dalam ayat ini menunjukkan bolehnya orang yang didzalimi mengghibahi orang yang mendzaliminya.
Mengghibahi dengan hal-hal yang menjelaskan kepada manusia tentang kedzaliman yang telah dialaminya dari orang yang mendzaliminya.
Bahkan dia boleh mengeraskan suaranya dengan hal itu dan menampakkannya di tempat-tempat berkumpulnya manusia. Sama saja apakah dia nampakkan kepada orang-orang yang diharapkan bantuannya atau dia nampakkan kepada orang-orang yang dia tidak harapkan bantuannya.
2. Minta bantuan untuk mengubah kemungkaran dan mengembalikan pelaku kemaksiatan kepada kebenaran
Seseorang (boleh) berkata kepada orang yang diharapkan kemampuannya bisa menghilangkan kemungkaran: “Si fulan telah berbuat demikian, maka hentikanlah dia dari perbuatannya itu.”
Tujuannya menjadikannya sebagai sarana untuk menghilangkan kemungkaran, jika niatnya tidak demikian maka hal ini adalah haram.
3. Meminta fatwa
Misalnya seseorang berkata kepada seorang mufti: “Bapakku telah berbuat dzalim padaku”, atau “Saudaraku, atau suamiku, atau si fulan telah mendzalimiku, apakah hukuman yang dia dapatkan?” atau “Bagaimanakah jalan keluar dari hal ini, agar hakku bisa aku peroleh dan terhindar dari kedzoliman?” dan yang semisalnya.
Namun yang lebih baik adalah hendaknya dia berkata (kepada si mufti), “Bagaimana pendapatmu tentang seseorang atau seorang suami yang telah melakukan demikian?”
Maka dengan cara ini tujuan bisa diperoleh tanpa harus menyebutkan orang tertentu, tetapi menyebutkan orang tertentu pun boleh sebagaimana dalam hadits berikut,
Dari ‘Aisyah berkata, “Hindun, istri Abu Sofyan, berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya Abu Sufyan seorang yang kikir dan tidak memberi belanja yang cukup untukku dan untuk anak-anakku, kecuali jika saya ambil tanpa pengetahuannya.”
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Ambillah apa yang cukup untukmu dan untuk anak-anakmu dengan cara yang baik” (jangan terlalu banyak dan jangan terlalu sedikit).” (HR. Bukhari dan Muslim)
4. Memperingatkan kaum muslimin dari kejelekan
Hal ini diantaranya: Jarh wa ta’dil (celaan dan pujian terhadap seseorang) yang telah dilakukan oleh para Ahlul Hadits. Mereka berdalil dengan ijma’ tentang bolehnya, bahkan wajibnya hal ini.
Karena para salaf umat ini senantiasa menjarh (mencela) orang-orang yang berhak mendapatkannya, dalam rangka untuk menjaga keutuhan syari’at. Seperti perkataan ahlul hadits: “Si fulan pendusta”, “Si fulan lemah hafalannya”, “Si fulan munkarul hadits”, dan lain-lainnya.
Contoh yang lain yaitu mengghibahi seseorang ketika musyawarah untuk mencari nasehat. Dan tidak mengapa dengan menta’yin (menyebutkan dengan jelas) orang yang dighibahi tersebut. Dalilnya sebagaimana hadits ini,
Fatimah binti Qois berkata, “Saya datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Sesungguhnya Abul Jahm dan Mu’awiyah meminang saya.”
Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Adapun Mu’awiyah maka ia seorang miskin adapun Abul Jahm maka ia tidak pernah melepaskan tongkatnya dari bahunya.” (Bukhari dan Muslim). Dan dalam riwayat yang lain di Muslim (no 1480) :”Adapun Abul Jahm maka ia tukang pukul para wanita (istri-istrinya).”
5. Ghibah dibolehkan kepada seseorang yang terang-terangan menampakan kefasikan dan kebid’ahannya
Seperti orang yang terang-terangan meminum khamer, mengambil harta manusia dengan dzolim, dan lain sebagainya. Maka boleh menyebutkan kejelekan-kejelekannya.
Aisyah berkata, “Seseorang datang minta izin kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Izinkanlah ia, ia adalah sejahat-jahat orang yang di tengah kaumnya.”
Namun diharamkan menyebutkan aib-aibnya yang lain yang tidak ia nampakkan, kecuali ada sebab lain yang membolehkannya.
6. Untuk pengenalan
Jika seseorang terkenal dengan suatu gelar seperti si rabun, si pincang atau si buta dan yang selainnya, maka boleh untuk disebutkan. Dan diharamkan menyebutkannya dalam rangka untuk merendahkan.
Adapun jika ada cara lain untuk untuk mengenali mereka (tanpa harus menyebutkan cacat mereka) maka cara tersebut lebih baik.
[MAY/Cms]
Sumber: www.almanhaj.or.id