DRAMA pendidikan kembali terjadi ketika PPDB digelar di beberapa wilayah di Indonesia. Kegaduhan tersebut mengiringi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di berbagai daerah.
Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mengatakan, ada sejumlah titik kesalahan sistemik yang menyebabkan ricuh PPDB di berbagai daerah.
Salah satu sumber kegaduhannya adalah Permendikbud Nomor 1 Tahun 2021 yang dijadikan acuan daerah dan ditafsirkan secara beragam oleh pemda-pemda.
“Dampaknya, sistem PPDB menuai protes di berbagai tempat dengan ragam kegaduhan yang berbeda-beda. Misalnya, protes karena seleksi berdasarkan usia, ketidakjelasan parameter jalur prestasi, dan juga banyak ditemukan manipulasi di jalur zonasi dan afirmasi,” kata Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji [Republika, 14/7].
Penulis buku Journey to the Light Uttiek M. Panji Astuti mengulas tentang kegaduhan ini.
Membaca berita tentang “segala upaya” yang dilakukan orangtua agar anaknya diterima di sekolah negeri, termasuk melakukan berbagai kecurangan, sungguh memprihatinkan.
Nilai-nilai apa yang ingin ditanamkan pada anak, kalau untuk mendapatkan akses pendidikan pun orangtua mencontohkan dengan menghalalkan segala cara?
Apa yang diharapkan pada anak-anak yang memulai belajarnya dengan menyogok, memanipulasi data, bahkan membuat dokumen palsu?
Astaghfirullah.
Baca juga: Reward untuk Motivasi Pendidikan Anak
Drama Pendidikan
Apa yang terjadi hari ini sangat jauh dengan yang dicontohkan orangtua para ulama terdahulu saat mengirimkan anaknya untuk menuntut ilmu.
Seperti yang dilakukan Sofiah binti Abdul Malik As-Syaibaniah, ibunda Imam Ahmad bin Hanbal.
Suaminya wafat saat anaknya masih kecil-kecil. Namun kondisi itu tak membuatnya abai dengan pendidikan buah hatinya.
Imam Ahmad bin Hanbal mengisahkan bagaimana miskinnya keluarganya.
“Sewaktu aku akan menuntut ilmu, ibuku hanya memberi bekal 10 buah roti yang diletakkannya bersama sekantung garam.”
Ia berpesan padaku, “Wahai anakku, sesungguhnya Allah jika dititipi maka tidak ada yang akan hilang dari-Nya, dan aku menitipkanmu kepada-Nya, yang tidak pernah sama sekali menghilangkan amanah.”
View this post on Instagram
Begitu membekas masa kecilnya, hingga Imam Ahmad bin Hanbal selalu menyebut-nyebut kebaikan ibunya di majelisnya.
“Semoga Allah menyayangi Ibuku, setiap akan salat Subuh, aku pasti teringat akan dirinya dan semua kenangan didikannya.”
Semoga kelak kita juga diingat anak-anak kita dalam mendidiknya sebagaimana Imam Ahmad bin Hanbal mengingat ibunya.
Jangan sampai kita dikenang sebagai orangtua yang mengajarkannya menyuap dan memanipulasi data.
Jumuah mubarak, everyone. Jangan lupa baca QS Kahfi.[ind]