DI TENGAH selebrasi kemenangan tim sepakbola Maroko atas Spanyol pada Piala Dunia 2022 Qatar, ada bendera Palestina yang ikut dikibarkan.
Dalam tulisan berjudul “Janji yang Diingkari”, (8/12/2022), Uttiek M. Panji Astuti mengaitkan kemenangan Maroko dengan persatuan umat Islam pada masa lampau.
Keberhasilan tim sepakbola Maroko melenggang ke delapan besar Piala Dunia 2022 Qatar dengan hasil yang luar biasa masih menjadi isu hangat di media sosial.
Banyak hal yang disoroti. Salah satunya adalah ukhuwah Islam, munculnya semangat persatuan. Tak hanya solidaritas sesama negara Arab, melainkan seluruh umat Islam di dunia.
Persatuan umat adalah sesuatu yang sangat mahal, bahkan banyak yang menyebut nyaris mustahil di abad modern ini.
Sesama Muslim sibuk bertikai membela kepentingannya sendiri. Tak peduli bagaimana nasib saudara-saudaranya yang saat ini tengah teraniaya.
Kemenangan Maroko atas Spanyol membuka mata kita akan indahnya persatuan. Sesuatu yang nyata, bukan ilusi semata.
Bagaimana squad Maroko selalu membawa serta bendera Palestine di tengah selebrasi kemenangan-kemenangan yang ditorehkanya.
Hingga Syaikh Ekrima Sa’id Sabri, Mufti Agung Al Quds dan Palestina, menyebut, “Pemenang Piala Dunia 2022 ini adalah Palestina.”
Dukungan umat Islam terlihat nyata. Ini sekaligus menguatkan pendapat bahwa normalisasi beberapa negara Arab dengan I*r*el beberapa waktu lalu adalah kepentingan para penguasa. Bukan cerminan suara rakyatnya.
Ikrar setia untuk menjaga setiap jengkal tanah waqaf umat Islam itu tak akan pernah tercederai selamanya.
Memegang teguh janji adalah ciri seorang Muslim. Sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan para alim terdahulu.
Sejarah mencatat, perjanjian yang dikhianati acap kali menjadi pemicu berkobarnya perang dahsyat.
Baca Juga: Al-Fatihah di Balik Kemenangan Maroko
Ada Bendera Palestina di Tengah Selebrasi Kemenangan Maroko atas Spanyol
View this post on Instagram
Tersebutlah perjanjian damai selama 12 tahun antara Sultan Murad II dari Daulah Utsmani dengan Raja Ladislas dari Hongaria, yang kemudian dikhianati atas bujukan Paus Eugene IV.
Dengan membawa 40 ribu pasukan terbaiknya, meletuslah perang dahsyat di lembah Pentallaria pada 17 Oktober 1448.
Sultan Murad II menancapkan kertas perjanjian yang telah dilanggar itu di ujung tombaknya sehingga pasukan musuh bisa melihat pengkhianatan yang dilakukan rajanya dengan disaksikan langit dan bumi.
Gentar melihat militansi pasukan Utsmani, pasukan Hongaria dan sekutunya terpukul mundur dan kocar-kacir. Pertempuran dimenangkan pasukan Sultan Murad II hanya dalam waktu 3 hari.
Peristiwa itu harusnya menjadi pelajaran. Betapa sering kita bermuamalah dengan orang Islam, namun perilakunya jauh dari cerminan seorang Muslim.
Janji yang telah terucap, tak sepatutnya diingkari. Karena janji adalah hutang dan hutang yang tak terbayarkan akan terus ditagih hingga ke pengadilan akhirat.[ind]