CARA hidup tanpa utang. Seperti diketahui, hidup seperti itu adalah kebabasan finansial yang didamba semua orang. Namun, sedikit sekali sepertinya yang dapat terbebas dari utang di tengah kungkungan kapitalis ini.
Bahkan untuk membeli sembako pun kita dapat berhutang dengan cara yang elegan, yaitu dengan menggunakan kartu kredit. Rasanya zaman sekarang ini sulit hidup tanpa utang.
Baca Juga: Ukasyah Menagih Hutang kepada Rasulullah
4 Cara Hidup Tanpa Utang
Utang tidak lagi dipandang sebagai suatu hal yang memalukan ataupun berat. Tetapi justru utang dikemas dengan sangat menarik sehingga menjadi suatu hal yang dibutuhkan.
Utang dikemas indah sehingga menarik siapapun untuk terjebak dalam nafsu konsumtif yang berlebihan dan gaya hidup mewah.
Ingin membeli sembako, ingin berobat, atau ingin membeli perlengkapan elektronik? Semua dapat dibeli dengan cara kredit alias berutang.
Tentu tidak menjadi masalah, ketika kemampuan untuk memenuhi kebutuhan belum ada, kita berhutang dan membayar dengan dicicil tanpa tambahan tanpa bunga riba.
Tetapi, saat ini justru bukan hanya lembaga keuangan seperti bank yang menawarkan kredit tetapi juga toko-toko pun memberikan pelayanan kredit dengan nilai tambah pada cicilannya.
Utang adalah aib dan kehinaan. Utang dapat menyibukkan hati, memusingkan pikiran, dan membuat perasaan gelisah.
Akan tetapi, banyak sekali orang yang tergiur untuk berutang meski ia tidak dalam kondisi sulit. Kecenderungan utang menjadi budaya, kini semakin nyata, na’udzubillahi min dzalik.
Jika dulu orang berutang untuk kebutuhan-kebutuhan pokok mereka seperti pangan dan kesehatan. Kini banyak yang berutang untuk berbagai kebutuhan mulai dari kebutuhan pokok hingga kebutuhan memenuhi gaya hidup.
Berikut sejumlah kiat agar kaum Muslimin tidak ikut-ikutan menjadikan utang sebagai budaya:
1. Sering mengingat hadits-hadits peringatan tentang masalah utang dan kewajiban untuk menyelesaikannya.
Bahkan Rasulullah Shalalllahu Alaihi wa Sallam tidak mau menshalatkan jenazah yang masih mempunyai utang.
Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallhu ‘anhu, ia berkata, “Seorang laki-laki meninggal duni a dan kami pun memandikan jenazahnya, memberinya wangi-wangian.
Kemudian kami letakkan untuk dishalatkan oleh Rasululllah SHallallahu Alaihi wa Sallam. Kemudian adzan shalat pun berkumandang. Beliau datang bersama kami dengan melangkah pelan.
Kemudian berkata, “Barangkali rekan kalian ini masih mempunyai utang?”
Mereka menjawab, “Ya, dua dinar!” Maka, Rasulullah pun mundur bersabda, “Shalatkanlah rekan kalian ini.” Lalu berkatalah seorang dari kami bernama Abu Qatadah, “Wahai Rasulullah! Utangnya yang dua dinar itu atas tangguanku!”
Maka, Rasulullah bertanya kepadanya, “Utang itu menjadi tanggunganmu? Tertanggung dari hartamu? Dan si mayit terlepas darinya? Abu Qatadah menjawab, “Ya”, Maka Rasulullah pun menshalatinya, dan setiap kali bertemu Abu Qatadah beliau pun selalu bertanya, “Apakah utang dua dinar itu telah engkau lunasi?”
Hingga pada akhirnya Abu Qatadah mengatakan, “Aku telah melunasinya, wahai Rasulullah!” Maka Rasulullah bersabda, “Sekarang barulah dingin kulitnya!” (HR. Ahmad, Al-Hakim, Al-Baihaqi)
2. Menanamkan rasa malu jika berutang untuk sesuatu yang tidak mendesak.
Hendaklah setiap muslim merasa malu jika berutang. Sehingga tidak berutang kecuali terpaksa, bukan semata untuk memenuhi syahwat terhadap fasiitas kemewahan atau untuk bertujuan bersenang-senang.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan janganlah engaku tujukan pandangan matamu kepada kenikmatan yang telah kami berikan kepada beberapa golongan dari mereka, (Sebagai) bunga kehidupan dunia, agar kami uji mereka dengan (kesenangan) itu. Karunia Rabb-mu lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Thaahaa (20) ayat 131)
3. Belajar qanaah dari generasi salafush Shalih.
Para sahabat radhiyallhu anhum adalah orang yang zuhud dan qana’ah. Mereka adalah generasi yang terbaik dan sebaik-baik manusia. Mereka adalah orang yang sedikit bebannya.
Apabila mereka ada harta (kemampuan) maka mereka membeli sesuatu sekadar yang mereka butuhkan dalam kehidupannya. Apabila mereka tidak mampu maka mereka bersabar, tidak memaksakan diri untuk belanja dengan utang atau belanja (membeli) apa-apa yang tidak dibutuhkan.
Seandainya mereka terpaksa berutang, karena tidak ada harta untuk membeli sesuatu maka mereka berutang sekadarnya, dan segera melunasi utangnya.
Bahkan, orang-orang fakir dari para sahabat tetap menjaga kehormatan dirinya dengan tidak minta-minta kepada manusia, mereka sabar dengan menahan lapar.
Allah Ta’ala berfirman, “(Apa yang kamu infaqkan adalah) untuk orang-orang fakir yang terhalang (usahanya karena jihad) di jalan Allah sehingga dia tidak dapat berusaha di bumi ; (orang lain) yang tidak tahu, menyangka bahwa mereka adalah orang-orang kaya karena mereka menjaga diri (dari meminta-minta).
Engkau (Muhammad) mengenal mereka dari ciri-cirinya, mereka tidak meminta secara paksa kepada orang lain. Apapun harta yang baik yang kamu infaqkan, sungguh, Allah Maha mengetahui.” (QS. Al-Baqarah (2) ayat 273)
4. Merasa cukup dengan pemberian Allah
Seorang Muslim sebaiknya merasa qana’ah (cukup) dengan apa yang diberikan Allah Ta’ala untuknya. Dan hendaklah ia menahan diri dari menuruti keinginan hawa nafsunya sehingga dengan begitu ia tidak terjerumus ke dalam utang.
Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda, “Sungguh beruntung orang yang masuk Islam, diberikan rezeki yang cukup, dan dia merasa puas dengan apa yang Allah berikan kepadanya.” (HR. Muslim)
Setiap masalah pasti ada solusinya. Sehingga meski tidak dilarang, upayakan tidak berutang untuk sesuatu yang bukan kebutuhan pokok. Apalagi untuk meraih maksud yang diharamkan dalam syariat. [w/Majalah Aulia/Cms]