ChanelMuslim.com – Hidup kita gak jauh dari raport yaa, dari kecil takut liat raport jelek. Saat tua, khawatir raport anak jelek. Ketika meninggal khawatir raport di akhirat jelek. Yaa raport emang penting buat manusia introspeksi dan tahu standart dirinya.
Tapi yang paling gak enak kalau ditanya hasilnya gimana atau di banding-bandingkan. Aku paling sebal kalau ada saudara yang ngomong gini, “alhandulillah… si Ihsan matematikanya dapat 10, Zaky gimana?” Kebetulan mereka seumuran. Alhamdulillah anakku lompat kelas jadi aku bisa bilang, “yaa kan beda kelasnya, Zaky kan sekolahnya di boarding jadi mata pelajarannya lebih banyak.”
Tadinya mau bilang, ehh Zaky tuh kemarin juara loh tim basketnya, tapi…malas ahh ngomongin anak.
Baca Juga: Anak-Anak yang Memiliki Prestasi
Bagi Raport
Maka itu di sekolah kami, ranking tidak di declear-kan karena ada anak yang jago matematika, tahfidznya juga mumtadz , bahasa English walau belum pernah ke Inggris juga jago, grammar-nya gak ada salah -lebih jago dari tukang burger di Inggris- tapi dia gak suka olahraga. Lantas anak yang gemar olahraga dan ikut lomba ini itu dan jadi juara dalam bidang sport yang di minati, apakah dia anak yang paling bodoh? Apalagi di raport sport itu kolomnya cuma satu baris, sementara untuk akademik berbaris-baris.
Jadi, sebagai orangtua di negeri yang masyarakatnya masih ortodox, memandang nilai raport akademik dan bangku kuliah dengan teori yang berjejer-jejer sebagai alat ukur keberhasilan seorang anak, aku musti pandai bersilat lidah.
“Syifa kuliahnya dimana? Kok kadang di Perth, kadang di Jakarta?”
“Yaa, di mana saja yang penting dekat dulu deh dengan emaknya, nanti kalau sudah nikahkan susah, jarang ketemu…”
“Ismail sudah gak kuliah lagi yaa?”
“yaa, gak pa pa, dia kan udah selesai sekolah pilot tahap satunya, lebih cepat dari anak yang lain, biar aja dia nyari duit dulu. Mumpung lagi semangat.”
“Terus nanti kuliahnya gimana?” Si penanya masih kepo.
Aju jawab “yaa, biarin aja, suruh kawin aja nanti sama anak orang kaya yang hafal Quran.”
“Zaki gimana raportnya?”
“Yaa baik baik aja? maklum anak pesantren yang dinilai banyak. Tapi gurunya hebat loh ngisi raport berlembar-lembar dari kegiatan Zaky secara academik, agamanya maupun ke boardingannya.
Biasanya aku tutup dengan senyum dan segera pegang handohone, pura-pura sibuk.
Tapi aku gak tanya balik tentang anaknya, aku gak peduli anak orang lain, mau jadi juara atau ranking terakhir bukan urusanku. Buat aku yang penting anak-anak itu udah besarnya bisa membangun negeri bersama anak-anakku, tanpa korupsi, tanpa hutang, tanpa tergantung pada bangsa lain. Tidak menjadi orang yang “pak turut” atau “bu nrimo.” Punya cita–cita besar untuk jadi orang besar, untuk merubah umat dan negeri ini. Dan sadar kedepan merekalah yang harus menanggung semua beban di negeri ini.
Mudah-mudahan gak pada stress.
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar.” (An-Nisa:9)