APAKAH uang digital sama dengan token digital? Token diciptakan oleh suatu proyek yang kemudian digunakan sebagai pembayaran agar dapat menikmati layanan yang disediakan proyek tersebut.
Baca Juga : Membangun Miniatur Ekonomi Islam di Dunia Blockchain
Mengenal Token sebagai Mata Uang dalam Jaringan
Uang digital dicetak sebagai token digital dengan bantuan teknologi blockchain.
Faktanya, ada banyak digital token yang mungkin memiliki fitur yang sama dengan uang konvensional serta aset finansial dan nonfinansial.
Sebuah token dapat diterbitkan dengan nilai setara US Dollar, selain itu sebuah token juga dapat diterbitkan setara dengan bagi hasil pada perusahaan.
Token tersebut bisa juga diterbitkan setara jarak ambulans dan pesawat, kilowatt energi matahari, dan ton emisi karbon.
Sebuah token juga dapat diterbitkan atas karya, wasiat, atau kepemilikan lahan atau ternak.
Dengan berbagai skema klasifikasi, token terdiri dari fungible token dan non-fungible token.
Fungible token yang dapat digunakan sebagai mata uang dan aset lainnya. Semua fungible token setara dan dapat ditukarkan untuk barang lainnya.
Di sisi lain, terdapat non-fungible token yang dapat digunakan untuk karya seni, sertifikat dan yang lainnya.
Ditambah lagi, setiap non-fungible token (NFT) memiliki keunikan tersendiri.
Cara lain untuk melihat kepemilikan sebuah token memberikan utilitas spesifik atau nilai lebih bagi pemilik.
Sebuah token mall mungkin akan memberikan fasilitas berupa diskon atau hadiah bagi pemegangnya.
Token dari sebuah jaringan komunitas mungkin akan memberikan fasilitas seperti akses ke e-library atau manfaat lain yang diberikan pada anggotanya.
Token tersebut dikategorikan sebagai utility token. Namun, ketika token digunakan untuk mengumpulkan dana bagi proyek untuk mengganti sebuah sistem tradisional maka token tersebut disebut dengan nama security token.
Ketika investor membeli sebuah equity-token contohnya, dia adalah bagian dari pemilik proyek sebagai pemegang dari bagi hasil proyek tersebut.
Security token dapat diatur ke berbagai cara, serupa dengan keamanan keuangan atau bagi hasil.
Ketika perbedaan konseptual antara utility token dan security token sudah jelas, ada kesempatan untuk mengaburkan hal tersebut dalam penerapannya, meskipun pada akhirnya berakhir pada regulasi otoritas pasar dalam negara.
Regulasi pada umumnya meminta informasi yang akurat dan memadai mengenai sebuah proyek serta pengawasan yang hati-hati terhadap promotor, pasar yang baik yaitu bebas dari manipulasi harga oleh pemain pasar dan sebagainya.
Sebenarnya, ada banyak pelaku yang memiliki rekam jejak buruk untuk menghindari norma dan tetap menghasilkan dana dengan menjual utility token.
Sayangnya, praktik pengumpulan dana dengan menjual utility token sudah berlangsung lama.
Utility token dijual dengan harga sewenang-wenang kepada publik tanpa memberi penjelasan terkait dasar proyek yang jelas.
Tidak ada utilitas atau nilai yang diberikan kepada pemegang token yang pantas dengan harga yang dibayarkan, kecuali janji.
Permainan tersebut yang sering dimainkan para pemilik proyek “tidak bertanggung jawab” adapun yang sering terjadi:
Membuat atau mencetak token tidak sesuai “whitepaper” atau “litepaper”, informasi yang diberikan promotor pada publik untuk meraih kepercayaan.
Menjual token dalam bentuk paket dengan harga yang naik bertahap (untuk memberi kesan bahwa permintaannya tinggi).
Melanjutkan penjualan awal dengan listing token di bursa privat dengan membayar berupa dana.
Manipulasi harga dengan menaikan cerita palsu tentang penjualan token di media, yang berkaitan dengan penjualan fiktif.
Menarik paket tersisa saat harga masih naik.
Menarik bagi hasil promotor apabila ketertarikan pasar atas token menurun dan mencobanya di token lain yang dianggap lebih menjanjikan.
Tanpa banyak pikir panjang, praktik tersebut melibatkan kebohongan publik dan penggelapan serta tidak sesuai syariah.
Sedangkan, transaksi dalam ekonomi Islam harus memenuhi syarat syariah dan tidak boleh mengandung gharar, jahl, ghish, tadlis, qimar, dan ghubn.
Tentu, kita pun bisa melihat riba di dalamnya dan hal tersebut dilarang.
Para pakar tidak mengizinkan adanya harga gratis saat Initial Public Offer (IPO) dalam saham ketika dasar proyeknya hanya memiliki aset moneter atau memiliki aset moneter lebih banyak dibanding aset fisik.
Sayangnya, proyek yang akan menuju Initial Coin Offer (ICO) banyak menjual token digital untuk menggalang dana dengan harga semena-mena. Akhirnya, dana yang mereka kumpulkan ada dalam sifat riba terlarang atau ghubn karena harga semena-mena.
Bagaimana pandangan cendekiawan muslim terhadap mata uang tersebut?
Sejarah dari uang memperlihatkan kita bahwa cendekiawan muslim menerima dua tipe uang atau mata uang.
Pertama, uang dengan muka uang yang setara dengan kandungan emas atau perak di dalamnya (Thaman Haqiqi).
Kedua, muka uang yang ditentukan oleh pemerintahan dan diterima oleh masyarakat luas (Thaman Istilahi).
Hal tersebut mengikuti uang “swasta” atau uang “berdaulat” (sovereign money) yang diterima pula oleh syariah.
Argumen ini paling kuat dalam mendukung uang digital, yang dikategorikan sebagai uang swasta (bitcoin, algo, eths).
Perlu diingat bahwa uang digital pun kini diterbitkan oleh pemerintah modern yang dinamakan Central Bank Digital Currencies (CBDC).
Ketika uang swasta diterima oleh syariah, kondisi “penerimaan dan penerapan” oleh semua pihak menjadi hal fundamental yang dibutuhkan. Salah satu yang turut berkecimpung dalam pengembangan miniatur ekonomi Islam ini adalah IBF Net Group.
Baca Juga : 18 Tahun Berkiprah, LAZ Al Azhar Bangkitkan Ekonomi Masyarakat Desa
IBF Net Group sebagai komunitas peneliti dan profesional online tertua di dunia di bidang bisnis dan keuangan Islam menjadi tuan rumah Jaringan Bisnis dan Keuangan Islam. Kemudian, telah diputuskan sebagai pemenang Global Islamic Finance Awards (GIFA) 2021 dalam kategori ‘Platform FinTech Islam Berkembang Terbaik’. Untuk informasi lebih lanjut mari bergabung dengan komunitas kami dan berdikusi lebih lanjut: https://t.me/ibfnetwork.
[wmh]