“NYALAKAN tombol offensive kalian, malam ini kita akan diskusi dan menganalisa sebuah teks wawancara dari seorang aktivis spiritualisme yang menulis buku “Sex, Power, and Nation. Hidupkan sikap kritis kalian untuk menilai dimana letak kesalahan berpikir dari setiap diksi yang dikeluarkan,” begitulah kalimat pembuka yang disampaikan Akmal Sjafril dalam mengawali kelas Sekolah Pemikiran Islam (SPI) di Gedung INSISTS, Kalibata, pada Rabu (27/09/2023).
Sebelumnya Akmal menegaskan pentingnya pembelajaran literasi dalam memahami sebuah bacaan, makna dibalik sebuah tulisan, dan maksud dibalik perkataan seseorang.
“Indonesia termasuk salah satu negara yang minim literasi, jika literasi kita parah, bukan sepenuhnya salah kita, negara juga mempunyai andil,” ucap Akmal.
Baca Juga: Konsep Hermeneutika Al-Quran Habis Dikuliti di Kelas SPI Jakarta: Dasarnya Sudah Keliru!
Hidupkan Sikap Kritis, Murid SPI Jakarta Dibekali Keterampilan Analisis Narasi
Akmal memberi contoh seorang sosiolog dan tokoh wanita yang pernah melontarkan tesis berjudul “Ibuisme Buatan Negara” pada zaman orde baru, Julia Indiati Suryakusuma, yang mengaku tidak percaya pada agama, tetapi mempercayai adanya Tuhan.
Hal ini tertulis dalam sebuah teks wawancara Julia dengan Ulil Abshar Abdalla, seorang aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL).
“Dalam teks ini kita melihat banyak sekali kontradiksi dan kesalahan logika berpikir. Kita melihat seorang yang dibesarkan dalam lingkungan liberal dengan background pendidikan yang sekuler merambah masuk ke perbandingan agama kemudiaan belajar ilmu filsafat yang belum waktunya, jika kita melihat usianya saat itu. Maka pantas ia pernah menjadi Atheis,” ungkap Akmal.
Menurut Akmal, cara Julia dalam mengetahui kebenaran Tuhan masih ambigu. Sumber yang dijadikan rujukan oleh Julia juga tidak jelas sehingga melahirkan pemikiran yang menyimpang tentang konsep Tuhan.
“Klaim diri merasa hebat namun mencari ilmu dari sumber yang tidak jelas. Cara mengetahui kebenaran akan Tuhan tidak jelas,” ucap Akmal.
Ia melanjutkan, “Malah membuat ritual agama baru dengan mengatakan Tuhannya tidak pakai lima waktu, tetapi setiap saat dan perjumpaan dengan Tuhan itu anytime. Namun setiap jam 5 pagi melakukan meditasi dan jika sedang bingung baru kembali ke Tuhan. Hal ini menjelaskan, agama baru akan muncul jika jiwa spiritualitas menurun,” tutur peneliti INSISTS tersebut.
Akmal pun menyatakan betapa pentingnya seorang muslim membentengi diri dari pemikiran-pemikiran yang sesat, belajar menganalisa suatu tulisan, serta membaca footnote bagian bawah tulisan, agar paham lebih dalam maksud dan esensi sebuah tulisan.
Rika salah satu murid SPI Jakarta menyatakan, “Saya merasa perkuliahan tadi malam sangat hidup. Biasanya kami diberi kesempatan untuk berdiskusi atau bertanya diakhir materi saja.
Namun khusus untuk kuliah tadi malam, dari awal kami sudah diajak untuk berpikir dan menganalisa sebuah teks wawancara dari seorang aktivis spiritualisme.
Hal ini sangat menarik karena kami diajak bersama-sama untuk menghidupkan sikap kritis dan menilai di mana letak kesalahan berpikir orang tersebut dari setiap diksi yang ia keluarkan,” ujar Rika.
Penulis: Minnie Minarni
[Ln]