ChanelMuslim.com – “Mantanku dari ekonomi sederhana, aku terbiasa bekerja sejak sebelum menikah,” ujar Dyah Mustokoweni, S.Ag, seorang pengusaha herbal yang baru saja merintis usaha wedang pada Maret 2020. Dengan kondisi keluarga yang tak sempurna, bagaimana Dyah bangkit dan memperjuangkan kesetaraan di bidang ekonomi?
Jauh sebelum merintis usaha wedang, Dyah telah tumbuh menjadi pribadi yang mandiri. Jiwa kewirausahaannya diasah sejak kecil oleh kakaknya, Rani (pemilik CV Vermindo International). Ia berjualan baju-baju batik sejak usia SMP atas bimbingan kakaknya. Ia juga pernah menjadi guru di sebuah sekolah dasar bahkan hingga menduduki posisi sebagai Wakil Kepala Sekolah.
“Dulu, saya guru Tahfiz di SD, dan guru Bahasa Inggris sampai karier wakasek. Sempat ditawarkan posisi Kepsek, tapi karena gaji tidak sesuai dengan tugas yang sangat padat, akhirnya saya memilih mundur dari dunia pendidikan,” katanya, Senin (23/11/2020) kepada ChanelMuslim.com.
Ia pun memulai usaha katering nasi boks dan aqiqah. Kepiawaiannya dalam mengolah masakan membuat usaha kateringnya maju pesat.
“Lumayan bisa beli motor dan rumah dari hasil katering,” ujarnya sembari tersenyum.
Namun, bisnis yang meroket selalu diimbangi dengan ujian. Satu persatu karyawannya mundur dan bahkan membuka usaha katering.
“Karyawan ada yang buka sendiri juga, beberapa customer saya diambil alih mereka. Akhirnya katering agak sepi,” tuturnya sedih.
Selain hobi memasak, Dyah mengakui bahwa ia menjalani beragam profesi untuk memenuhi tuntutan kebutuhan rumah tangga.
“Tuntutan kebutuhan rumah tangga, jadi buat saya kreatif. Anak saya tiga dan mantan suami saya dari ekonomi sederhana. Jadi, dari awal nikah, berjuang cari nafkah juga,” tegasnya.
Dyah tidak sendiri, mungkin banyak Dyah-Dyah lain yang juga berjuang untuk dapat setara dalam hal ekonomi, sosial, dan pendidikan. Sesuai dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDG), yaitu mencapai kesetaraan gender serta memberdayakan semua perempuan dan anak perempuan, apa yang dilakukan Dyah adalah upaya untuk memastikan bahwa semua perempuan dapat berpartisipasi penuh dalam kehidupan berpolitik, sosial dan ekonomi.
“Tidak apa-apa. Saya enggak takut. Tanpa laki-laki, malah lebih sukses,” kata Dyah yang menjalani peran sebagai orang tua tunggal selama dua tahun.
Hasil tak pernah mengkhianati proses, perjuangan Dyah pun terbayar. Produk wedangnya kini tembus ke luar negeri. Temannya yang seorang profesor di Jerman tertarik untuk mengonsumsi wedang buatannya. Wedangnya pun dikirim ke Jerman sebanyak 100 pak.
“Karena cuaca di Jerman sangat dingin saat itu, jadi laku pesat wedang tersebut dan habis dalam waktu 1 pekan,” tambahnya bahagia.
Pandemi Covid-19 bagi Dyah bisa dikatakan sebagai ‘blessing in disguise’. Ia jeli membaca peluang pasar berdasarkan pengalamannya sebagai pengusaha UMKM di bidang herbal. Ia membuat wedang yang terbuat dari rempah-rempah berkualitas tinggi, minuman herbal semacam ini banyak dicari orang untuk menjaga imunitas tubuh.
“Wedang saya sudah ke Eropa, orangnya belum. Kalau ke Singapura, Kuala Lumpur, Bangkok, Mekkah, Madinah sudah. Tinggal ke Jerman, Eropa belom nih. Semoga segera terwujud bisa ke sana langsung lihat negara dan ketemu reseller-reseller saya di sana, amin,” ujarnya sumringah.
Kini, Dyah tengah mengembangkan sistem untuk bisnis Wedang KFKIN buatannya. Ia bangga sebagai perempuan Indonesia yang mandiri dan tangguh mengatasi rintangan. Di masa pandemi Covid-19, bisnis yang dijalaninya mampu bertahan dan bahkan semakin berkembang. Meskipun Dyah bukan satu-satunya perempuan Indonesia yang memperjuangkan kesetaraan di bidang ekonomi, ia membuktikan mampu bertahan bahkan sukses dalam mengembangkan bisnis yang dijalaninya. [ind]