IMPOSTOR syndrome atau sindrom impostor, disebut juga perceived fraudulence, adalah kondisi ketika seseorang merasa tidak pantas atas kesuksesan yang mereka raih.
Meski memiliki latar belakang pendidikan, pengalaman, dan pencapaian yang jelas, mereka tetap meragukan kemampuan diri sendiri.
Perasaan ini menimbulkan konflik antara bagaimana seseorang memandang dirinya dan bagaimana orang lain melihatnya.
Baca juga: Simak Syarat dan Cara Daftar Sekolah Swasta Gratis di Jakarta Tahun 2025
Kenali Apa Itu Impostor Syndrome dan Faktor Penyebabnya
Seseorang yang mengalami kondisi ini sering kali:
Menganggap pencapaian sebagai hasil dari keberuntungan semata
Merasa dirinya tidak cukup pintar meski mendapat pujian
Merasa menjadi penipu yang suatu saat akan “terbongkar”
Kondisi ini tak jarang disertai dengan gejala seperti rendahnya rasa percaya diri, kecemasan, hingga depresi. Siklus ini terus berulang, di mana pencapaian baru tidak meredakan perasaan tidak layak, dan kesalahan sekecil apa pun memperkuat rasa bersalah dan tidak mampu.
Peneliti terkemuka dalam bidang ini, Dr. Valerie Young, mengelompokkan impostor syndrome dalam lima tipe berikut:
The perfectionist
Menuntut kesempurnaan dalam segala hal. Kegagalan kecil dianggap sebagai bukti ketidakmampuan.
The natural genius
Percaya bahwa kecerdasan dan kemampuan harus datang secara alami. Jika harus berusaha keras, mereka merasa bodoh.
The soloist
Menilai bahwa keberhasilan harus dicapai sendiri. Meminta bantuan dianggap sebagai tanda kelemahan.
The expert
Selalu merasa perlu tahu segalanya sebelum merasa layak. Kurangnya pengetahuan dianggap sebagai kegagalan.
Follow Official WhatsApp Channel chanelmuslim.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.
The superhero
Mengukur keberhasilan berdasarkan kemampuan untuk menjalankan semua peran sekaligus. Jika gagal di satu peran saja, rasa tidak layak muncul.
Impostor syndrome dapat disebabkan oleh banyak faktor, di antaranya:
Pengasuhan: Tekanan tinggi dari orangtua, perbandingan dengan saudara, atau kritik berlebihan
Lingkungan kerja atau akademik: Kurangnya dukungan atau representasi, bias gender dan ras
Kepribadian: Perfeksionisme, takut gagal, atau menolak keberhasilan
Kondisi ini dapat memburuk jika disertai dengan gejala kecemasan atau depresi. Ketika seseorang terus merasa tidak cukup baik, kelelahan emosional, rasa bersalah, dan bahkan keinginan menyerah bisa muncul. [Din]