APA itu penekanan emosi? Apakah kamu pernah mengalami mencoba menekan emosi marah, sedih atau kecewa? Ketua Hikari Parenting School Hifizah Nur, S.Psi., M.Ed. menjelaskan mengenai represi emosi.
Emosi-emosi negatif itu sering kali kita tekan karena menganggap tidak pantas dikeluarkan di hadapan orang lain?
Atau mungkin kita, sebagai orang tua, secara sadar atau tidak sering mengatakan hal seperti ini pada anak-anak, ”Stttt…tidak boleh menangis ya, anak laki-laki harus kuat, jangan cengeng.”
Atau bahkan memarahi anak dengan keras, saat mereka menangis atau mengekspresikan amarahnya kepada ayah bunda?
Ini adalah perilaku yang bisa membuat seseorang menekan emosinya, sehingga tidak bisa disalurkan dengan semestinya.
Apakah perilaku ini ada efek negatifnya? Bagaimana untuk mengatasi kebiasaan ini, kalau sudah terbentuk sejak kecil?
Artikel ini akan membahas tentang penekanan emosi secara tuntas, yang diambil dari situs positivepsychology.
Baca juga: Sampah Emosi
Apa Itu Penekanan Emosi atau Represi Emosi?
Tulisan ini akan dishare selama beberapa hari ke depan. Ikuti terus ya! Semoga bermanfaat!
Penekanan emosi atau represi emosi adalah usaha untuk menghindari penderitaan emosional. Ini adalah gaya coping yang digunakan untuk menyembunyikan dan mengusir emosi negatif.
Menekan emosi dapat dianggap sebagai mekanisme pertahanan, di mana orang membela diri dari hal-hal negatif dan fokus pada aspek positif dari diri mereka (Garssen, 2007).
Represi emosi dapat terjadi karena seseorang tumbuh di lingkungan yang hanya sedikit atau bahkan tidak ada ruang yang diberikan untuk mengalami dan mengekspresikan emosi.
Narasi masyarakat dan mitos keluarga mungkin menyatakan bahwa emosi itu salah, memalukan, atau merupakan tanda kelemahan.
Kita mungkin dibesarkan oleh pengasuh utama yang tidak pernah mengungkapkan atau menunjukkan emosi negatif.
Mereka mungkin secara sengaja atau tidak sengaja menghilangkan emosi negatif kita melalui pesan-pesan seperti ‘lanjutkan saja’, ‘berhenti menangis’, ‘bersyukur’, dan ‘jangan konyol; semuanya baik-baik saja.’
Anak-anak sering menginternalisasikan pesan-pesan yang didengar dari orang di sekelilingnya, dan belajar bahwa memiliki emosi negatif dan mengakuinya, bukanlah hal yang baik.
Selain itu, tidak adanya seseorang yang memberi contoh bagaimana mengekspresikan dan mengatasi emosi dapat mengarah pada pengembangan strategi penanggulangan yang berfokus pada menghindari dan menghambat emosi negatif.
Banyak orang mungkin lebih mengarahkan perhatian pada emosi positif yang dapat diterima dan ditoleransi oleh orang lain.
Pengalaman masa kecil yang traumatis juga dapat mengakibatkan represi emosi.
Seorang anak yang kebutuhannya diabaikan, tidak diakui, atau yang dikritik atau dihukum karena memperlihatkan dan mengungkapkan perasaannya, mungkin lebih cenderung menekan emosinya saat dewasa.[ind]