ORANG TUA tanpa disadari kadang menjadi pembully utama anak. Bagi remaja, inilah tekanan mental yang berat.
Tak ada orang tua yang tidak sayang pada anak-anaknya. Tapi karena sesuatu hal, orang tua tak menyadari kalau mereka sudah menjadi pembully utama anak.
Setidaknya, tiga hal berikut ini bisa menjadikan orang tua, tanpa sadar, memberikan tekanan mental pada remaja.
Satu, Obsesi yang Subjektif pada Anak
Semua orang tua punya target atau cita-cita yang baik pada remaja. Misalnya, prestasi di sekolah, dan bisa lulus di sekolah lanjutan yang baik.
Namun, orang tua kadang lupa kalau tidak semua anak memiliki bakat dan kecenderungan pada prestasi akademik tertentu. Dan masalahnya, sistem pendidikan di Indonesia belum mampu menampung dan mengembangkan semua bakat kecerdasan anak.
Misalnya, bakat seni dan bahasa, bakat ilmu agama, bakat keterampilan teknik, prestasi olah raga, dan lainnya.
Umumnya orang tua hanya mengetahui kalau anak harus berprestasi di semua mata pelajaran. Padahal, jika anak sangat berbakat di satu bidang, boleh jadi, ia akan lemah di bidang yang lain. Dan ini sebenarnya hal yang wajar.
Anak yang berbakat pada seni misalnya, ia akan lemah pada pelajaran sains, termasuk matematika. Begitu pun mereka yang berbakat pada bahasa, hal yang sama juga akan terjadi.
Bayangkan jika orang tua tidak mau tahu tentang ini. Anak remaja yang sedang asyik dengan bakat dan kecenderungannya dipaksa untuk menguasai yang bukan keinginannya, tentu akan sangat tertekan.
Yang lebih berat lagi jika orang tua mengiringi obsesinya dengan berbagai ancaman. “Kamu mau jadi miskin seperti ayah dan ibu?”, “Kamu tahu nggak, sekolah itu mahal!” Dan lainnya.
Yang harus dipahami orang tua, tidak ada anak yang bodoh. Yang ada, orang tua belum mengetahui di bidang apa kecerdasan anaknya.
Dua, Ketidakharmonisan Rumah Tangga
Keharmonisan itu menular, sebagaimana permusuhan juga bisa menular. Nah, hubungan yang kurang harmonis suami istri bisa berdampak pada perlakuan terhadap anak.
Suasana yang tidak harmonis biasanya menjadikan ayah ibu menjadi zero toleran pada anak. Kesalahan kecil saja, bisa menjadi seolah besar. Dan hal itu akan menjadi tekanan mental yang berat untuk anak.
Tiga, Pola Asuh Salah yang Turun Temurun
Tidak semua ayah ibu berasal dari keluarga yang memahami ilmu parenting. Dan tidak semua ayah ibu memiliki perhatian utama tentang ilmu parenting.
Dampaknya, rumus yang salah juga akan diterapkan untuk anak-anak. Misalnya, over protektif pada anak. Anak harus fokus belajar, dan tak perlu berorganisasi.
Bayangkan jika sang anak memiliki kecenderungan sebaliknya, maka ia akan merasa tertekan secara mental dari rumus yang salah itu.
Jadi, bukan hanya remaja yang perlu banyak belajar. Orang tua pun juga harus banyak belajar tentang dunia remaja saat ini. Hal ini agar keinginan baik orang tua tidak justru menjadi tekanan mental yang bisa berakibat fatal. [Mh]