MENIKAH itu bukan beban. Tergantung kita yang akan menyajikannya: sebagai pesta besar atau acara sederhana tapi begitu khidmat.
Jangan salah paham tentang menikah. Karena sebagian lajang menganggap nikah itu beban. Bisa dibilang, mereka menganggapnya sebagai beban paling berat dalam kehidupan. Masak sih?
Beban Klise Seremonial Nikah
Kalau lajang ditanya, kapan nikah? Maka, jawabannya terasa begitu jelimet. Hal ini karena tiba-tiba muncul sederet beban di pikiran.
Mulai dari biaya yang bisa mencapai ratusan juta, juga soal proses panjang yang nggak bisa dianggap gampang. Mulai dari komunikasi bilateral dengan calon mertua, antar orang tua, pilihan acara dan seremonial, dan tentu saja kecocokan dengan calon.
Buat yang terbiasa dengan fast process dan serba instan, perjalanan menikah jadi sangat melelahkan. Repot!
Belum lagi bicara soal cocok-cocokan antar orang tua, waduh bisa bikin perut jadi mual. Juga, soal adat dan budaya, soal status ekonomi dan sosial, dan lainnya.
Jebakan Beban Remeh-temeh
Sebenarnya, apa yang direpotkan dari menikah itu bukan hal pokok. Tapi lebih pada seremonial dan pernak-pernik pernikahan.
Apa maksudnya menikah dengan cara ‘sepi-sepi’ aja? Apa nggak justru akan mengundang kecurigaan yang macam-macam.
Nah di sinilah jebakannya. Kalau melihat nikah dari sudut pandang aksesoris dan seremonial, maka hal yang dibutuhkan tidak akan ada habis-habisnya.
Kenapa tidak ada upaya untuk membangun kesamaan ‘mindset’ bahwa nikah itu cara Islam memuliakan pasangan yang diikat dalam iman dan keikhlasan.
Kesamaan ‘mindset’nya untuk semua pihak. Mulai dari calon pengantin dan dua pihak keluarga besar.
Jadi, bukan karena soal biaya saja, tapi juga soal kekhusyukan dan keikhlasan prosesi nikah. Bukankah ‘mindset’ dan cara ini yang diteladani Rasulullah dan para sahabat?
Sekali lagi, bukan karena tentang irit dan hemat, tapi tentang akhlak dan kesederhanaan.
Misalnya, cukup melangsungkan akad nikah di kantor KUA atau di masjid dekat rumah. Setelah itu, lakukan resepsi di rumah dengan ‘mengundang’ tukang dagang kuliner jalanan. Misalnya, tukang bakso, tukang somay, es kelapa muda, nasi uduk, tukang sate ayam, bahkan mungkin tukang rujak.
Selama stok yang mereka jajakan itu tersedia, selama itu pula acara resepsi berlangsung. Tapi kalau sudah habis, ya, habis pula acara resepsinya. Simpel kan!
Begitu pun tentang dekorasi dan dandanan. Yang penting, sepasang pengantin terlihat lain dari yang lain. Rasanya tidak begitu perlu harus gonta-ganti busana hanya untuk beberapa jam. Tidak perlu juga memoles wajah seperti orang melukis di atas kanvas. Menor banget!
Yang penting, jika memang anggaran masih tersedia, dana bisa dialokasikan untuk sedekah ke sanak kerabat, orang-orang sepuh di keluarga besar, yatim dan fakir miskin. Mohonkan doa dari mereka agar pasangan baru ini memperoleh keberkahan.
Sekali lagi perlu kesamaan ‘mindset’ agar menikah bisa meraih keberkahan. Jangan sampai kita semakin memahami agama, tapi semakin jauh dari teladan yang diajarkan Islam.