PERTANYAAN sederhana yang kerap muncul terhadap para lajang, “Bisa nggak sih mereka dipaksa untuk menikah?”
Menilai hukum nikah semestinya tidak dengan perasaan. Karena terbawa perasaan, seseorang kesal ada lajang yang cukup penghasilan tapi tidak juga menikah.
Untuk mencermati hal ini, kita harus merujuk pada dalil-dalil yang shahih tentang hukum menikah. Dan, bukan karena larut dalam perasaan.
Hukum Asal Nikah
Hukum asal nikah seperti yang disepakati para ulama adalah sunnah. Bukan wajib. Ada juga ulama yang berpendapat bahwa hukumnya mubah saja.
Bagaimana dengan hadis-hadis yang seperti mencela orang yang tidak mau menikah. Para ulama hadis telah meneliti hadis-hadis tersebut. Tapi, semuanya tidak masuk dalam hadis shahih, bahkan ada yang dinilai palsu.
Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang para wali memaksa anak gadisnya untuk menikah. Tidak boleh menikahkan seorang gadis kecuali karena keridhaannya.
Imam Al-Qurthubi menambahkan, para ulama menilai hukum menikah bergantung pada keadaan masing-masing individu terhadap dorongan syahwat. Siapa yang dikhawatirkan akan terjerumus pada zina, maka hukum menikah terhadapnya menjadi wajib. Siapa yang tidak, maka menjadi anjuran saja.
Karena itu, jangan heran jika ada sejumlah ulama besar yang tidak menikah hingga akhir hayatnya. Antara lain, Ibnu Taimiyah penyusun Kitab Majmu’ Fatawa, Imam Nawawi penyusun Kitab Hadis Riyadhus Shalihin, Imam Thobari, Imam Az-Zamakhsari, dan ulama kontemporer asal Mesir yang juga penulis tafsir Azh-Zhilal bernama Sayyid Quthb.
Mereka mendedikasikan hidupnya semata-mata untuk ilmu dan dakwah. Banyak karya tulis mereka yang sangat bermanfaat untuk umat Islam.
Jadi, kembali ke pertanyaan di awal tulisan ini: boleh nggak memaksa lajang untuk menikah padahal ia mampu secara finansial? Tentu tidak boleh, kecuali memang ada indikasi dikhawatirkannya terjadi perzinahan. [Mh]