SEJUMLAH mitos mengartikan tanda-tanda kesialan. Bagaimana Islam memandang hal tersebut?
Masyarakat begitu akrab dengan sejumlah mitos tentang kesialan. Yaitu, mitos yang menafsirkan sebuah peristiwa sebagai pertanda kesialan atau nasib buruk yang akan terjadi.
Misalnya, mitos yang mengatakan bahwa kalau ada burung gagak di atas rumah, maka itu pertanda bahwa akan ada musibah yang menimpa anggota keluarga rumah itu.
Musibah bisa berbentuk kematian anggota keluarga, bencana, kecelakaan, atau sejenisnya.
Bayangkan jika anggota keluarga tersebut percaya, maka mereka akan dibayang-bayangi ketakutan. Mereka akan gelisah, stres, dan lainnya.
Ada mitos lain yang serupa: “Menikah di bulan syuro akan mendatangkan kesialan.”
Mitos ini masih dipercaya sebagian masyarakat kita. Sehingga, mereka ‘mengharamkan’ adanya hajatan pernikahan yang digelar pada bulan syuro atau muharam.
Tidak heran jika sebagian masyarakat menghindari bulan syuro untuk tanggal hajatan. Mereka takut kena sial atau mengalami nasib buruk, khususnya untuk sang pengantin.
Sudut Pandang Islam
Islam datang dengan dalil-dalil atau argumentasi hukum yang bisa dipertanggungjawabkan. Selain untuk mencerdaskan umat, juga untuk menghilangkan keyakinan yang boleh jadi datang dari peramal atau dukun.
Karena mempercayai sebuah ramalan atau perkataan dukun bisa menyesatkan. Orang bertindak atas dasar yang tidak jelas.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Bukan termasuk golongan kami siapa saja yang beranggapan sial atau membenarkan orang yang beranggapan sial, atau siapa saja yang mendatangi tukang ramal atau membenarkan ucapannya….” (HR. Al-Bazzar)
Nasib baik dan buruk merupakan takdir Allah subhanahu wata’ala. Sama sekali tidak berkaitan dengan tingkah hewan, formasi bintang, atau hal-hal lain yang diyakini tanpa argumentasi atau dalil.
Dan jika nasib buruk menimpa seorang mukmin, maka katakan ‘qadarullah’. Artinya, ini sudah ditakdirkan Allah. Dan takdir dituliskan sebelum kita dilahirkan.
Tentang takdir ini, tak seorang pun yang tahu. Karena hal ini merupakan hal gaib. Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun tidak tahu.
“Katakanlah (ya Muhammad): aku tidak kuasa mendatangkan kemanfaatan bagi diriku dan tidak pula kuasa menolak kemadharatan kecuali yang dikehendaki Allah.
“Dan andaikata aku mengetahui yang gaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan…” (QS. Al-A’raf: 188)
Masalahnya, ada ‘orang-orang pintar’ yang mengaku mampu menafsirkan fenomena kejadian. Bahwa fenomena tertentu mengisyaratkan akan terjadinya sesuatu.
Selain dituntut kritis terhadap sebuah mitos yang dirasa tidak beralasan, abaikan mitos-mitos tentang kesialan. Karena hal itu bisa bertentang dengan ajaran Islam. [Mh]