AKTIVIS Tuli Phieter Angdika mengoreksi panduan pendidikan inklusif versi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi RI yang diterbitkan pada tahun 2022.
Menurut lulusan Master of Sign Language dari Gallaudet University, AS itu, panduan pelaksanaan pendidikan inklusif yang diterbitkan oleh Kemdikbudristek RI termasuk kategori audism.
“Ini adalah buku panduan pelaksanaan pendidikan inklusif yang menjelaskan terkait peserta didik penyandang disabilitas, dan ketika saya baca saya kaget sekali,” unggah Phieter dalam akun IG @phiter_angdika, 18 Februari lalu.
Pada bagian penjelasan tentang penyandang disabilitas Tuli, pemilik nama lengkap Abdurrahman Phieter Angdika itu tertawa karena disebutkan bahwa Tuli tidak bisa bergaul.
“Saya tertawa sekali disebutkan Tuli tidak bisa bergaul. Hmm enggak bisa bergaul ya? Kayaknya tergantung situasi deh,” lanjut Phieter yang juga seorang mualaf itu.
Orang Tuli, menurutnya, bisa bergaul dengan orang dengar, khususnya yang bisa berbahasa isyarat.
“Kalau misalnya dengan orang dengar yang bisa bahasa isyarat, tentu kok kami bisa bergaul,” tambahnya lagi.
Ia juga mengomentari soal karakter Tuli yang disebut egosentris, mudah marah, dan tersinggung.
“Lalu egosentris, mudah marah, tersinggung. Nah, ini maksudnya apa ya? Apakah Tuli sering marah-marah?” desak Phieter.
baca juga: Teman Tuli Ikut Aksi Bela Palestina, Ini yang Mereka Sampaikan
Aktivis Tuli Phieter Angdika Sebut Panduan Pendidikan Inklusif Versi Kemdikbud RI Masuk dalam Kategori Audism
Lebih lanjut, pada bagian yang menjelaskan fisik dan kesehatan orang Tuli disebutkan bahwa anak yang Tuli mempunyai badan bungkuk dan pernafasan pendek.
“Selain itu, di bagian fisik dan kesehatan, di sini mengatakan badan Tuli selalu bungkuk. Apakah semua Tuli badannya bungkuk? Pernafasan pendek? Maksudnya apa ya?” ungkapnya.
Phieter mengatakan apakah orang dengar lebih baik dibandingkan orang Tuli ketika bernafas?
“Ini lucu sekali. Sayangnya kurikulum ini hanya berfokus pada kemampuan dengar saja dan masih dalam kategori audism,” jelasnya.
Menurut kamus Meriam-Webster, audism adalah diskriminasi atau prasangka terhadap individu yang tuli atau sulit mendengar.
Sementara, aktivis Tuli Surya Sahetapy menyebut bahwa audism adalah keyakinan bahwa orang-orang yang bisa mendengar itu lebih superior daripada orang Tuli.
Edukasi dan masukan untuk @kemdikbud.ri dan masyarakat itu disampaikan oleh pemilik akun @phieter_angdika dengan 11.700 pengikut itu.
“Komunitas Tuli tidak seperti yang ada pada penjelasan dalam buku panduan inklusif untuk pelengkap kurikulum Merdeka,” tulis Phieter.
Phieter memberikan masukan kepada Kemdikbud agar menuliskan karakter Tuli tidak mendengar dan pengguna bahasa isyarat saja.
“Apa Tuli itu tidak normal? Tidak, Tuli itu normal karena punya akal budi dan pemikir. Harusnya mereka menulis karakter Tuli: tidak mendengar dan pengguna bahasa isyarat saja,” tambahnya.
Jadi, menurut Phieter, tidak usah menjelaskan Tuli dengan aspek sosial dan lingkungan dan aspek fisik dan kesehatan dengan berdasarkan ASUMSI sembarangan yang mengambil sumber yang tidak benar.
Ia pun memberikan solusi yaitu selalu melibatkan komunitas Tuli yang ahli linguistik, ahli pendidikan, dan lainnya, karena Tuli yang memiliki pengalaman langsung menjadi Tuli.
“Kalau belum berpengalaman sebagai Tuli sejak lahir, jangan berani menulis seperti itu,” tutupnya.[ind]
View this post on Instagram