KINI banyak perusahaan yang berlomba-lomba untuk menciptakan industri fashion lokal yang ramah lingkungan.
Berdasarkan data PBB, industri fashion bertanggung jawab atas sekitar delapan hingga sepuluh persen emisi global, lebih tinggi dari gabungan antara industri penerbangan dan pelayaran.
Menurut Global Fashion Agenda dan Mckinsey, pada tahun 2018 industri fashion di seluruh dunia menghasilkan lebih dari 2 miliar ton emisi gas rumah kaca.
Angka emisi yang luar biasa ini mendorong industri fashion untuk berinovasi menghasilkan produk yang ramah terhadap bumi.
Sebagian besar perusahaan di bidang tersebut menciptakan restoratif ekonomi, yang tidak hanya mendorong kesejahteraan komunitas lokal dan masyarakat adat yang hidup di sekitar hutan, tetapi juga memulihkan hutan dan alam sekitarnya.
Baca juga: Desainer Belanda-Maroko Gunakan Fashion untuk Advokasi Perlawanan Budaya Palestina
Industri Fashion Lokal Ramah Lingkungan Kian Digeluti Banyak Perusahaan
Dengan kesadaran yang meningkat di industri fashion saat ini pilihan produk yang lebih baik untuk lingkungan semakin banyak tersedia.
Kamu bisa tetap tampil glowing dan keren tanpa melukai alam, sekaligus meningkatkan ekonomi masyarakat lokal.
Tenun Ikat Dayak Iban
Dikenal sebagai tenun yang halus dengan pewarna alam yang cantik, tenun ini melukiskan keragaman, baik dari segi teknik, motif, hingga karakter warna.
Hingga kini beberapa teknik tradisional yang masih lestari dan dipraktikkan, seperti teknik sidan, ikat, sungkit, tumpukan selam, dan tumpukan amat.
Hardiyanti, peneliti independen Mahakarya Tenun, bercerita, bagi suku Dayak Iban yang tinggal di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, bertanya bukan sekedar keterampilan.
Ini adalah jalan untuk mengenal dan mengukuhkan jati diri. Dalam setiap helai benang, mereka menemukan warisan leluhur dan kekuatan sebagai perempuan muda Iban yang diberkahi bakat alami menciptakan keindahan.
Pewarna alam yang mereka gunakan menyatu dengan prinsip kelestarian. Pemanenan dilakukan dengan bijak. Kulit kayu diambil berselang-seling agar pohon tetap hidup dan tumbuh.
Banyak tumbuhan pewarna ini adalah flora liar yang berlimpah, seperti bunga kemunting dan daun putri malu.
Tas rajut noken khas Papua
Dulu, noken terlihat dalam bentuk yang biasanya serupa. Kini, tas tradisional dari serat kulit kayu khas Papua ini hadir dalam model.
Meskipun demikian, kamu juga bisa menemukan koleksi tas rajut noken dengan model yang tradisional. Warnanya pun tak melulu warna asli serat kayu, melainkan bermain dalam spektrum warna yang cerah.
Tas yang telah diakui oleh UNESCO sebagai Warisan Budaya Tak Benda ini dapat digunakan di berbagai kegiatan, mulai dari kuliah hingga pesta.
Naomi Waisimon, salah satu pemilik Ki.Basic, menguraikan, brand-nya mengembangkan produk dengan mengangkat cerita dan sumber lokal, sekaligus berbagi tentang budaya dan perjalanan pembuatan koleksi tersebut.
Proses pembuatan satu tas noken berkisar antara satu hingga dua minggu, tergantung pada ukurannya. Para mama terlebih dahulu mencari kulit kayu di hutan atau dari pohon mahkota dewa di pekarangannya sendiri, membuatnya menjadi helai-helai ‘benang’ kayu yang siap digunakan, baru kemudian menggandakannya dengan cinta dan kegembiraan.
Menariknya lagi, noken juga awet hingga bertahun-tahun, karena serat kayunya dirajut membentuk kesatuan pola yang kuat.
Perawatannya pun tidak sulit, tidak perlu dicuci secara berkala dengan sabun. Naomi memberi tip, jika terdapat noda pada noken, cukup sikat lembut dengan air, kemudian diangin-anginkan.
Tas dan dompet kain kulit kayu Sigi
Aksesori fashion dari kulit hewan sih, sudah biasa. Yang luar biasa adalah aksesori dari kulit kayu. Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) di Sigi, Sulawesi Tengah, berinovasi mengembangkan produk aksesori fashion, seperti tas dan dompet dari kain yang berbahan dasar kulit kayu.
Harapannya, kain kulit kayu tidak hanya dikenal sebagai simbol budaya lokal, melainkan sebagai komoditas bernilai ekonomi yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan.
Follow Official WhatsApp Channel chanelmuslim.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.
Teknik pembuatan kain kulit kayu merupakan pengetahuan warisan turun-temurun masyarakat adat di wilayah dataran tinggi Kulawi.
Tradisi ini tidak hanya mencerminkan identitas budaya lokal, tetapi juga menjadi bagian dari upaya menjaga hutan dan lingkungan secara berkelanjutan.
Nedya bercerita, bahan baku kain kulit kayu diperoleh dari pohon nunu atau pohon ivo yang tumbuh di kawasan hutan adat di Kulawi.
Bahan itu kemudian diolah dengan cara direbus, difermentasi, kemudian dipukul-pukul menggunakan alat tradisional bernama ike.
Pengambilannya dilakukan secara terbatas dan berimbang, mengikuti kearifan lokal masyarakat adat setempat untuk menjaga kelestarian hutan. Proses ini memastikan bahwa pemanfaatan sumber daya alam tetap selaras dengan prinsip keberlanjutannya. [Din]