ChanelMuslim.com – Situasi pandemi yang menyebabkan terpuruknya berbagai sektor ekonomi kreatif membuat Riri Rengganis, owner brand Rengganis, harus berpikir cepat agar dampak penurunan penjualan tidak terlalu parah.
Dengan sementara ditutupnya 3 outlet: Alun Alun Indonesia GI, Sarinah Thamrin, dan butik teman di Singapore tempatnya berkonsinyasi pun sedang tutup karena lockdown, menyebabkan Riri mengubah strategi untuk lebih fokus pada penjualan online dan membuat produk yang lebih relevan dengan kebutuhan serta daya beli sekarang.
[gambar1]
Ide dari pembuatan masker premium ini sebetulnya sangat sederhana, Riri mencoba untuk menawarkan kepada pelanggan loyalnya. Desain masker premium bisa dipadukan dengan koleksi baju yang sudah ada, baik dari brand Rengganis maupun Indische.
Di luar dugaan, ternyata justru masker ini menarik juga bagi orang-orang baru yang belum kenal dengan kedua brandnya. Ternyata, kebutuhan akan masker premium sangat tinggi, dan sekarang telah menjadi produk asesoris paling dicari.
[gambar2]
Masker ini terbuat dari bahan 100% katun voille dilapisi dengan woven interlining (istilah umumnya “trikot”) dan satu lagi lapis tipis non-woven interlining (istilah umumnya “kain kapas”). Lalu di dalamnya ditutup dengan katun voille lagi agar bisa disisipkan tissue (reusable tissue atau pun tissue basah yang dikeringkan) sebagai filter sesuai anjuran pemerintah.
Sebelum diluncurkan, Riri sudah melakukan tes masker. Bahkan tanpa tissue pun masker ini sudah tidak bisa meniup lilin di depannya. Selain itu, bentuk masker yang seperti mangkuk, membuat kain tidak menempel pada lubang hidung sehingga pengguna masker tetap nyaman untuk bernapas (breathable).
[gambar3]
Dengan kemunculan berbagai desain masker premium, customised, tematik, batik, tenun dan lain-lain oleh berbagai UKM di seluruh Indonesia, terasa betul ini bukan saja masalah kesempatan bisnis tetapi perlu didokumentasikan sebagai potret sejarah bagaimana industri kecil Indonesia berjuang dan menggeliat di tengah ketidakpastian. Rentan karena tidak adanya insfrastruktur industri, sekaligus tangguh (resilient) karena tinggi kreatifitas didukung oleh pasar dalam negeri yang berjiwa gotong royong, tetap semangat membeli produk sesama pengrajin atau desainer lokal.
Sesungguhnya ini adalah masa yang sangat menarik. Hal ini membuat Riri justru penasaran, sejauh mana ekonomi kreatif bisa berkontribusi pada kehidupan di masa sulit, maupun di dunia baru nanti setelah pandemi di mana perilaku manusia dan pola konsumsinya juga ikut berubah. [Wnd/rls]