ChanelMuslim.com- Satu tahun sudah pelantikan Jokowi-Ma’ruf berlalu. Plus minus dan pro kontra kepemimpinan Jokowi periode kedua ini menjadi catatan tersendiri. Sejumlah janji kampanye pun dirasakan masih belum menyentuh bumi.
Tanggal 20 Oktober kemarin menjadi momen tersendiri untuk kepemimpinan Jokowi-Ma’ruf. Pada tanggal itulah, keduanya dilantik sebagai presiden dan wakil presiden setahun lalu. Menariknya, di saat itu demo besar membayangi mereka. Dan tepat setahun kemarin, demo serupa lagi-lagi membayangi kepemimpinan mereka.
Orang bisa mengatakan, demonstrasi hal biasa di negeri demokratis. Demonstrasi pun dianggap tidak bisa dijadikan ukuran kinerja kepemimpinan seseorang. Tolok ukur capaian harus dibaca dari data-data, bukan dari unjuk rasa.
Sejumlah lembaga survei merilis bagaimana respon publik terhadap kinerja Jokowi-Ma’ruf setahun ini. Di antara hasilnya menyebut, 60-an persen publik masih percaya. Walau masih positif, angka ini sebenarnya sudah turun di banding dengan kepemimpinan Jokowi di periode sebelumnya yang mencapai 70-an persen.
Meski percaya, ternyata publik belum merasa puas. Angka kepuasan atas kinerja kepemimpinan ini berada di kisaran 40 hingga 50 persen. Dengan kata lain, jika dianalogikan dengan rapot, angka kepuasannya berada di warna merah.
Lembaga advokasi hukum untuk korban kekerasan dan orang hilang seperti Kontras bahkan memberikan catatan tersendiri. Menurut mereka, ada penyempitan ruang sipil di masa kepemimpinan satu tahun Jokowi-Ma’ruf.
Hal ini menyangkut kebebasan berekspresi rakyat yang dirasakan kian sulit. Terutama, ekspresi yang ditujukan untuk kritik terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah, baik ekspresi dalam bentuk demonstrasi, diskusi politik di kampus, media massa, dan lainnya.
Yang menarik dari catatan mereka adalah periode pertama kepemimpinan Jokowi diakhiri dengan kontroversi disahkannya Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK. Dan, di akhir dari satu tahun pertama kepemimpinan Jokowi diakhiri dengan kontroversi UU Omnibus Cipta Kerja.
Dua UU itu menjadi sorotan karena dinilai tidak mengakomodir masukan dari publik. Dan dua UU tersebut juga mengalami respon yang nyaris sama: demonstrasi besar-besaran yang tidak cukup satu atau dua hari.
Meski begitu, publik juga mengakui bahwa walaupun kerap dirongrong aksi massa besar, pemerintahan ini masih cukup mampu menjaga stabilitas dan keamanan dalam negeri. Begitu pun ketika rakyat bereaksi negatif terhadap anjloknya ekonomi karena pandemi. Indonesia masih lebih baik tingkat keamanan dan stabilitasnya di banding negeri besar seperti Amerika sekali pun.
Sebenarnya, publik menginginkan pemerintahan ini lebih produktif lagi dalam kinerja. Terlebih lagi setelah hampir semua fraksi di DPR berada dalam gerbong besar koalisi dengan pemerintah. Kekuatan ini semestinya menjadi jalan mulus agar rakyat Indonesia lebih sejahtera seperti amanat konstitusi.
Pasca pukulan pandemi Covid-19, krisis multidimensi tak lagi terelakkan. Mestinya, kinerja yang dihasilkan harus lebih besar dari keadaan normal tanpa pandemi.
Rakyat tak lagi cukup diberikan wejangan tentang kepuasan secara teoritis, terlebih lagi hanya terkesan simbolis. Krisis multi dimensi saat ini bukan lagi sudah di depan mata. Tapi, sudah masuk ke pikiran, perut, dan jiwa rakyat Indonesia.
Jangan lagi publik menilai slogan “Kerja, kerja, dan kerja!” hanya buaian indah di masa kampanye. Kepemimpinan Jokowi-Ma’ruf kini diharapkan lebih bisa menjawab ketidakpuasan itu dengan bukti. Bukan lagi janji, apalagi sekadar basa basi. (Mh)