ChanelMuslim.com- Penerapan pembelajaran jarak jauh atau PJJ kian memprihatinkan. Bukan sekadar sarana yang tidak memadai, konsepnya pun masih belum membumi alias masih meraba-raba. Di tengah kekisruhan itu, justru dengan bangganya Pak Menteri mewacanakan PJJ akan menjadi permanen, ada atau tidak ada corona.
Dampak wabah Covid-19 ternyata bukan sekadar di kesehatan dan ekonomi. Pendidikan pun terkena dampak luar biasa. Di hari pertama pembukaan tahun ajaran baru kemarin, kegamangan menyelimuti tenaga pendidik di lapangan.
Seperti yang terjadi di sebuah sekolah negeri di Aceh Barat misalnya. Sekolah memberlakukan pembelajaran dengan tatap muka. Tapi karena dinilai belum siap dengan protokol kesehatan, dinas pendidikan setempat langsung meminta sekolah untuk memulangkan murid-murid untuk selanjutnya memberlakukan PJJ.
Lain di Aceh, lain lagi di Bogor. Sebuah madrasah ibtidaiyah terpaksa membuka pembelajaran tatap muka meskipun wilayah tersebut tergolong zona berbahaya. Pengurus sekolah mengaku bukan karena tidak paham dengan aturan sekolah di masa pandemi. Tapi karena berkesimpulan bahwa siswa dan orang tua tidak mampu melaksanakan PJJ. Kalau dipaksa melakukan PJJ, dikhawatirkan anak-anak tidak bisa mengikuti pelajaran sama sekali.
Sebelumnya, Ikatan Guru Indonesia telah menyarankan kepada pemerintah untuk menunda tahun ajaran baru ke Januari 2021. Hal ini karena adanya data yang memprihatinkan soal kesiapan tenaga pendidik di seluruh Indonesia untuk melakukan PJJ. Data itu menyebut bahwa lebih dari 60 persen guru belum siap menerapkan PJJ, karena kendala alat hingga kemampuan.
Dengan penundaan selama enam bulan itu, IGI berharap pemerintah dan tenaga pendidik memiliki waktu cukup untuk mempersiapkan diri dengan PJJ yang baik, menarik, dan produktif.
Kenyataannya, siswa dan orang tua memang merasakan dampak dari kendala PJJ itu. Dari segi alat, kendala bukan sekadar ketersediaan sarana yang masih tergolong barang mewah untuk sebagian besar wilayah Indonesia. Melainkan juga, ketersediaan jaringan internet yang bukan hanya masih mahal tapi juga langka.
Belum terjangkaunya jaringan internet bukan hanya dirasakan di wilayah yang jauh dari Jakarta, di wilayah seperti Bogor pun internet seperti angin, kadang bertiup kadang diam. Hanya di wilayah perkotaan saja jaringan ini tersedia, selebihnya ghaib alias hilang sinyal.
Soal harga, internet menjadi masalah lain untuk sebagian besar masyarakat Indonesia. Untuk kuota 1 sampai 2 GB saja, harga bisa mencapai 25 ribu rupiah. Jika kuota ini dipakai untuk PJJ yang menyajikan konten bentuk video, nafas kuotanya hanya berkisar satu pekan. Dengan kata lain, butuh biaya sekitar seratus ribu untuk bisa PJJ selama satu bulan.
Itu satu anak. Bagaimana dengan keluarga yang memiliki lebih dari tiga anak yang mengikuti PJJ. Berapa biaya yang mesti mereka keluarkan hanya untuk ongkos internet. Padahal, biaya SPP saja tidak sampai 50 ribu per bulan.
Silakan Pak Menteri jalan-jalan ke sebagian wilayah Jawa Barat seperti Bogor, Sukabumi, Tasik, dan lainnya. Jangan hanya di wilayah perkotaannya, tapi sesekali ke wilayah pedesaan yang merupakan mayoritas wilayah ini. Silakan buka layanan internet di ponsel, dan rasakan betapa tersiksanya Anda di sana. Akan lebih tersiksa lagi jika cuaca sedang hujan.
Halo Pak Menteri dan para pejabat pusat. Simaklah suara anak-anak bangsa yang haus sekolah. Kalau pun sarana internet mereka dapatkan untuk mengikuti PJJ. Tapi, yang mereka dapatkan hanya pembelajarannya saja. Sementara sentuhan pendidikannya nyaris lenyap.
Halo Pak Menteri, konsep Anda tentang PJJ permanen mungkin sebuah pemikiran brilyan sebagai pengayaan sistem pembelajaran di negeri ini. Tapi, PJJ bukan soal materi pembelajaran yang mengarah ke pemikiran dan skill siswa, tapi lebih penting dari itu, pendidikan karakter bangsa.
Halo Pak Menteri, sadarilah bahwa Anda ini Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Bukan, Menteri Pembelajaan dan Kebudayaan. Pintar dan terampil memang dibutuhkan tunas bangsa ini. Tapi, akhlak dan karakter jauh lebih penting lagi agar tunas bangsa ini tidak meneruskan tongkat estafet korupsi yang belum surut di pejabat negeri ini.
PJJ atau apa pun nama dan perlakuannya seperti barang ghaib untuk sebagian besar masyarakat Indonesia. Ghaib bukan berarti tidak ada, tetap ada meski terasa tidak ada. Tapi, cobalah lihat dengan nyata, agar kecerdasan generasi ini tidak benar-benar ghaib untuk selamanya. (Mh)