MALAM Tahun Baru seperti menjadi seremonial rutin di sejumlah kota besar. Pesta dimeriahkan dengan kembang api dan musik. Tapi, air mata masih berlinang di tanah bencana.
Pergantian malam tahun baru kembali menjadi ajang pesta. Di situlah berkumpul banyak kepentingan. Ada bisnis, gaya hidup, atau hanya sekadar hura-hura.
Dari sisi bisnis, momen setahun sekali itu mengundang banyak potensi cuan. Mulai dari hotel, dunia hiburan, kuliner, dan tentu saja petasan plus kembang apinya.
Sebagian warga di kota besar, malam tahun baru juga seperti seremonial gaya hidup yang sulit mereka lewatkan. Boleh jadi, segala rencana pesta sudah disiapkan satu bulan sebelumnya: mau bermalam di mana, dengan pesta apa, dan seterusnya.
Di sisi lain, di belahan bumi Indonesia lainnya; begitu banyak warga yang masih dalam suasana duka. Lebih dari seribu orang meninggal dunia, seratus lebih korban masih hilang, dan lebih dari tiga ratus ribu warga masih hidup dalam pengungsian.
Semua duka itu tak akan bisa tergantikan dengan apa pun. Yang lebih penting untuk mereka, selain bantuan nyata, adalah rasa keprihatinan nasional.
Hal itu bukan sekadar tuntutan kewajaran sebagai sesama warga negara, melainkan juga sebagai umat Islam. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan bahwa membantu saudara yang kesusahan jauh lebih besar pahalanya daripada i’tikaf di Masjid Nabawi sebulan penuh.
Terlebih lagi jika dibandingkan dengan hanya sekadar pesta. Hanya sekadar hura-hura. Hanya sekadar memuaskan gaya hidup yang tak punya makna.
Silakan pemerintah dan aparaturnya menggunakan kewenangannya untuk menjaga keprihatinan itu. Tunjukkan bahwa negara ini punya pengendalinya. Tunjukkan bahwa negara ini masih menyisakan derai air mata. [Mh]




