ChanelMuslim.com- Pemerintah Arab Saudi sudah membuka kembali pelaksanaan ibadah umroh. Sejak 4 Oktober lalu, pelaksanaan umroh dibuka dengan tiga tahap. Dua tahap untuk warga berdomisili di wilayah dalam negeri Saudi. Dan tahap tiga untuk warga dari yang datang dari luar Arab Saudi.
Pelaksanaan umroh ini berbeda dari biasanya. Jamaah serba dibatasi baik dari segi jumlah maupun durasi waktu, baik ketika berada di Masjid Haram dan Masjid Nabawi. Khusus di Masjid Haram, jamaah dibatasi maksimal tiga jam untuk pelaksanaan Thawaf dan Sai.
Meski berasal dari wilayah Saudi, calon jamaah pun tidak bisa asal ikutan umroh. Mereka harus mengisi data yang berada di aplikasi tawakalna. Aplikasi ini merupakan sekumpulan data kesehatan calon jamaah. Seperti, pernah atau tidaknya positif Covid-19, pernah atau tidak mengikuti tes Swab, dan seterusnya.
Jika dalam aplikasi ini jamaah dinyatakan lulus oleh pihak pemerintah Arab Saudi, maka calon jamaah mengunduh aplikasi berikutnya: I’tamarna. Aplikasi ini akan memandu calon jamaah untuk berkumpul di mana, kapan pelaksanaan umrohnya, dan termasuk pengawasan durasi waktu jamaah saat berada di Masjid Haram.
Dengan kata lain, pelaksanaan umroh kali ini sangat berbeda dengan biasanya. Pemerintah Arab Saudi begitu memperhatikan protokol kesehatan di tengah pandemi. Mereka tidak ingin, meski dengan alasan ibadah, penyebaran Covid-19 menjadi tidak terkendali.
Lalu, bagaimana dengan jamaah yang berasal dari luar negara Arab Saudi? Jawabannya, kalau yang berasal dari dalam Saudi saja pengawasan protokol kesehatan begitu ketat, apalagi yang dari luar. Dalam hal ini, pemerintah Arab Saudi akan mengumumkan negara mana saja yang diizinkan masuk, dan mana yang tidak.
Pemilihan ini tentu bukan karena soal suka tidak suka, atau senang tidak senang dengan suatu negara. Tapi, lebih karena catatan dalam negeri negara tersebut dalam menangani wabah corona. Apakah sudah menurun, landai, atau bahkan terus menaik seperti yang terjadi di negeri ini.
Tentu sangat wajar jika kebijakan ini dilakukan Arab Saudi sebagai tuan rumah yang bertanggung jawab. Karena ibadah umroh, terlebih lagi haji, merupakan pertemuan besar umat Islam dari seluruh penjuru negeri. Mungkin ribuan jamaah ini bisa dikendalikan saat berada di Masjid Haram dan Nabawi, tapi bagaimana ketika mereka berada di luar itu.
Bukankah mereka juga perlu penginapan untuk waktu berhari-hari. Mereka juga perlu makan rutin dalam jumlah pertemuan informal yang besar di ruang makan. Dan, mereka juga akan mengunjungi pasar, toko, lokasi ziarah, dan lainnya. Semuanya akan membuka kontak langsung antara masing-masing jamaah, serta jamaah dengan warga asli Arab Saudi.
Bayangkan jika umroh dilakukan tanpa seleksi ketat ini. Puluhan ribu hingga ratusan ribu orang dari seluruh negeri berkumpul dalam satu tempat yang sama, waktu yang berhimpitan; tentu akan sangat berpotensi menjadi klaster raksasa penyebaran wabah Covid-19.
Bagaimana dengan Indonesia? Secara nalar jawabannya mungkin sudah bisa ditebak. Silakan lihat sendiri bagaimana pengandalian wabah di dalam negeri. Apakah seperti negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura yang angkanya sudah menyusut drastis, atau seperti India yang naiknya begitu pasti.
Melihat catatan sebelum pandemi, memang Indonesia sebagai negara terbesar dalam jumlah jamaah haji dan umrohnya. Tapi, ini bukan soal hitung-hitungan saham. Bukan juga soal kedekatan secara emosional. Lagi-lagi, ini soal fakta kesehatan yang tidak bisa ditawar-tawar.
Kalau nantinya Arab Saudi tidak mengizinkan Indonesia masuk ke wilayahnya untuk ibadah umroh, sampai kapan izin itu akan terbuka? Jawabannya sebenarnya sangat sederhana. Bukan karena kekuatan lobi. Bukan juga karena “permainan” seperti yang marak di negeri ini. Tapi, lebih karena fakta kesehatan di tengah pandemi.
Jadi, kalau sebuah negara ingin dipilih bisa umroh, jangan semata-mata mengandalkan lobi. Apalagi memprotes dan menyalahkan Saudi. Urus dulu keberhasilan kesehatan dalam negeri. Tapi kalau tidak mampu juga, boleh jadi, umroh hanya sekadar mimpi. (Mh)