LOMBA menjadi tradisi di momen Tujuhbelasan. Jangan anggap enteng, karena di balik lomba itu banyak hikmah yang bisa ditanamkan.
Entah sejak kapan tradisi lomba Tujuhbelasan dicanangkan. Meski sangat sederhana, maknanya begitu dalam untuk generasi muda. Dan ini mungkin hanya ada di Indonesia tercinta.
Ada kegembiraan di situ. Ada gotong royong sesama warga. Dan ada kompetisi yang nilainya bisa menjadi spirit generasi selanjutnya.
Pertama, lomba mempertemukan berbagai potensi. Di situlah berbagai potensi diuji apakah berada di atas standar umumnya, atau jauh di bawahnya.
Bayangkan jika potensi-potensi itu tak diuji. Boleh jadi, potensi unggul akan mati karena tak terangsang untuk tumbuh dan berkembang. Atau mungkin juga, muncul sebuah generasi yang potensinya hanya berada di dunia imajinasi.
Era gadget saat ini memanjakan remaja dalam dunia semu. Berlomba dengan mesin tidak sebaik dengan sesama mereka. Bukan kegembiraan kompetisi yang didapat, tapi justru memunculkan stres dan gangguan gerak fisik.
Kedua, lomba menstimulasi untuk saling bercermin melihat sisi yang terbaik. Di situlah akan lahir empati dan simpati. Inilah nilai sosial yang kian redup di era gadget.
Saling bercermin juga memahamkan generasi muda bahwa di atas langit ada langit. Jangan berbangga diri karena masih ada yang lebih baik dari kita.
Ketiga, ada yang lebih utama dari kemenangan sebuah lomba. Yaitu, nilai sportivitas, fairness. Semua sama dalam aturan yang adil.
Sebab utama kehancuran sebuah organisasi adalah menghalalkan segala cara. Orang menjadi tak merasa perlu dengan adab, yang penting ‘menang’.
Bayangkan jika ini berlangsung di organisasi kecil seperti keluarga, dan organisasi besar seperti negara; maka hanya akan berujung pada kerusakan.
Semoga anak-anak yang tiap tahun berlomba di Tujuhbelasan bisa membawa nilai kebaikannya di masa berikutnya. Semoga pula mereka tidak merasa miskin keteladanan dari para pendahulunya. [Mh]