ChaneMuslim.com- Bulan Februari sudah bergulir lebih dari setengahnya. Namun janji pemerintah tentang normalnya harga minyak goreng di awal Februari dirasakan rakyat masih sekadar janji. Karena kenyataannya, minyak goreng masih mahal dan sulit dicari.
Di hampir semua rumah tangga, terutama di perkotaan, minyak goreng menjadi hal wajib. Tidak enak jika olahan masakan tanpa sentuhan minyak goreng.
Karena itu, kenaikan harga minyak goreng yang tak terkendali beberapa waktu lalu sangat meresahkan siapa pun. Pemerintah pun mengumbar janji bahwa ada sejumlah skema agar minyak goreng kembali normal.
Skema itu antara lain melalui kebijakan HET atau harga eceran tertinggi. Dengan cara ini, semua pelaku pasar di dunia minyak goreng wajib patuh dengan HET ini. Jika tidak, izinnya akan dimasalahkan.
Dikabarkan, sekitar 3,6 trilyun rupiah anggaran dikeluarkan untuk menciptakan skema ini, Kenyataannya, hal itu tidak juga terwujud. Karena di lapangan kerumitannya boleh jadi di luar perkiraan.
Antara lain, pedagang tradisional masih menyimpan harga minyak goreng dengan stok lama yang masih mahal. Tentu, mereka ingin agar stok lama itu yang dijual lebih dahulu. Dan jualnya pun dengan harga lama yang di atas HET.
Sementara di pasar ritel moderen, daya simpan gudang mereka hanya sekitar 20 hingga 25 juta liter per bulan. Sementara, kebutuhan masyarakat sebesar 327 juta liter. Atau, tidak sampai 10 persennya.
Maka, selalu saja stok yang tersedia akan ludes seketika. Yang ada hanya label harga dan raknya saja. Sementara barangnya kosong.
Persoalan minyak goreng di negeri ini memang sangat miris. Karena stok bahan bakunya begitu berlimpah. Indonesia merupakan negara penghasil sawit terbesar di dunia.
Lalu kenapa bisa minyak goreng begitu susah dan mahal padahal bahan bakunya berlimpah? Hal ini karena harga ekspor sawit ke luar negeri jauh lebih mahal daripada harga jual dalam negeri.
Bagi produsen, tentu saja yang mau bayar mahal akan diprioritaskan. Menyiasati ini, pemerintah berdalih bahwa ada kebijakan DMO atau kewajiban produsen untuk menjual pasar dalam negeri sebesar 20 persen dari total kapasitas produksi mereka.
Tapi entah kenapa, kebijakan ini hanya manis untuk diucapkan. Tapi begitu pahit dalam realitas di lapangan.
Entah sampai kapan rakyat Indonesia akan memperoleh harga minyak goreng yang normal dengan barang yang tetap tersedia. Tidak seperti sekarang ini, harganya memang sudah normal, tapi barangnya tidak ada. [Mh]