ChanelMuslim.com- Ada yang menarik dari orang-orang kelas ekonomi bawah terkait wabah corona. Nyaris, tak ada wajah gelisah dari mereka. Mereka saling sapa seperti biasa. Tanpa jarak yang kaku. Kalau pun mengenakan masker, posisinya sudah tidak karuan, alias hidung dan mulutnya terbuka lebar.
Dunia ini memang penuh dimensi. Satu dimensi seperti tak pernah berhubungan dengan yang lain. Padahal, keduanya berada pada ruang dan waktu yang sama.
Seperti itulah penampakan yang begitu mudah terlihat antara wajah orang ekonomi menengah dengan mereka yang ekonomi bawah. Padahal, keduanya berada dalam lokasi yang sama, waktu yang sama, dan sedang menghadapi wabah yang sama. Kenapa?
Perhatikan dua tempat berjual beli yang kita kunjungi: pasar tradisional dan supermarket. Di supermarket, petugas memeriksa suhu tubuh pengunjung dengan alat seperti pistol. Disediakan pula alat untuk mencuci tangan. Satu per satu, pengunjung bermasker memasuki area pasar dengan perasaan cemas. Jangan-jangan, di tempat inilah ia akan berjumpa corona.
Bandingkan saat kita berada di pasar tradisional. Sebagian pengunjung memang ada yang bermasker, tapi lebih banyak yang tidak. Jangan ditanya tentang bagaimana si penjualnya. Mereka tampak tak menampakkan perubahan saat melayani pembeli. Sangat rileks. Bahkan, sesekali menghisap rokok.
Di tempat ini, ketika kita bermasker dan menjaga jarak aman, kita seperti orang asing yang baru mampir ke pasar tradisional. Walau tidak semua pasar tradisional seperti itu, tapi umumnya penampakan seperti ini akan sangat lazim kita jumpai.
Di sebuah klinik di perbatasan ibu kota Jakarta, seorang sopir pribadi tampak menghampiri tukang parkir untuk menyapa. Keduanya seperti sudah sangat akrab. Keduanya sama sekali tidak mengenakan masker. Mungkin juga sudah dibuka karena ingin istirahat di bawah pohon.
Sang sopir sambil membawa segelas kopi yang masih mengebul menghampiri tukang parkir. “Mau tahu obat corona?” ucapnya sambil tersenyum. “Apaan?” tanya si tukang parkir. “Nih, kopi pahit. Ha..ha..ha,” ucap sang sopir. Keduanya pun tertawa lebar. Tanpa beban sedikit pun.
Padahal, keduanya sedang berada di kawasan yang begitu menakutkan untuk sebagian orang tentang wabah corona. Yaitu, sebuah klinik umum, tempat di mana banyak orang sakit berlalu lalang, atau sedang duduk menunggu antrean.
Dua sosok yang bisa dibilang mewakili kelas bawah dan mau berbagi cerita. Satu seorang ibu pedagang sayur keliling. Dan, satunya lagi pedagang bubur ayam dengan gerobak.
Jangankan mengenakan masker, memakai satu kali seumur hidup pun mereka mengaku tak pernah. Mereka tersenyum lebar ketika disapa dan ditanya-tanya tentang corona. “Saya yakin nggak akan kena,” ucap keduanya dengan redaksi yang berbeda.
Ketika ditanya kenapa, keduanya mempunyai jawaban yang sama: “Saya punya obat mujarab. Gratis dan gak pake repot.” Apa itu?
Keduanya menceritakan, setiap jam sepuluh pagi, selepas berjualan, mereka duduk di pinggir jalan tanpa melakukan kegiatan apa pun kecuali berjemur. Setelah hampir satu jam, urusan corona dianggap selesai. Begitu setiap harinya. Tanpa masker, tanpa obat, dan tanpa “main” jarak-jarakan.
Ketika ditanya darimana resep itu mereka dapat. Keduanya menjawab, dari anaknya, dan anaknya dapat informasi itu melalui pesan WA di ponsel.
Kita tidak sedang membahas soal resep mujarab penangkal corona. Melainkan, sedang mencermati persepsi orang “biasa” tentang corona yang sangat berbeda dengan kita umumnya yang terkungkung dengan seribu satu prosedur yang berbalut cemas dan takut.
Boleh saja kita menganggap mereka kurang pengetahuan tentang corona. Namun, boleh juga kalau mereka menilai kita bukan sekedar kelebihan pengetahuan, tapi juga berlebihan cemas.
Mereka mungkin tidak memiliki ponsel canggih yang dilengkapi internet super cepat, sehingga dengan itu berbagai informasi tentang corona bisa mereka dapat. Tapi, mungkin juga, apa yang kita simak, telaah, bahkan cari, melampaui apa yang kita butuhkan.
Kita tidak sedang meremehkan bahaya virus corona. Tidak juga mengabaikan kewaspadaan penularannya. Tapi, rasanya tidak perlu juga mengisi otak dan hati kita hampir seratus persen tentang bahaya corona.
Perhatikanlah data dunia tentang mereka yang paling tersiksa dengan corona: lahir dan batin. Bukan Cina yang sang sumbernya, bukan pula Afrika yang umumnya miskin. Bukan masyarakat Asia yang sedang membangun.
Melainkan, mereka yang selama ini dipuja-puja sebagai negara maju seperti Amerika dan Eropa yang berada pada tingkat pendidikan tinggi, ekonomi menengah, sarana kesehatan yang serba canggih, dan jaminan sosial yang sangat memadai.
Boleh jadi, bukan corona yang membunuh mereka. Tapi, diri mereka sendiri yang sudah begitu rentan dengan berbagai rasa cemas, takut, gelisah, sebagai akibat dari “kelebihan” pengetahuan. Padahal, belum ada satu pun orang atau lembaga di dunia ini yang bisa disebut sebagai pakar corona.
Mungkin saja, ada orang-orang tidak mampu yang wafat karena corona, tanpa diketahui bahwa mereka sakit dan wafat karena corona. Namun, mereka menemui ajalnya tanpa sedikit pun mengakui kehebatan corona, karena mereka memang tidak kenal banyak tentang corona. (Mh)