ChanelMuslim.com- Menjelang Lebaran seperti saat ini, pasar menjadi tempat yang paling diminati pengunjung. Baik, pasar tradisional maupun modern.
Salah satu yang pernah heboh adalah kerumunan di Pasar Tanah Abang di Jakarta, Pasar Anyar di Bogor, dan pasar-pasar lain di seluruh kota besar. Di tempat-tempat ini, nyaris mustahil diterapkan prokes.
Jangankan jaga jarak, bisa melangkah normal saja sudah bagus. Hal ini karena pengunjung begitu berjubel, padat. Keadaan lebih parah jika memasuki lorong-lorong kios.
Memang keadaan ini menguntungkan banyak pihak dari segi ekonomi. Bagi pedagang busana, suasana yang menguntungkan ini hanya terjadi satu tahun sekali: sepuluh hari sebelum Lebaran.
Bisa dibilang, inilah ritual tahunan yang sangat menguntungkan. Meskipun, capek dan lelahnya luar biasa.
Masalahnya, momen Lebaran ini masih dalam pandemi. Bahkan angka kenaikannya sangat mengkhawatirkan.
Jika pemerintah membiarkan fenomena kerumunan di pasar seperti ini, maka perkembangan pandemi akan tambah mengkhawatirkan. Kerumunan akan menambah potensi cepatnya penularan.
Di sinilah dilemanya. Di satu sisi, pemerintah daerah menginginkan momen Lebaran ini untuk menaikkan pendapatan ekonomi masyarakat, di sisi lain, ada bahaya pandemi yang mengancam.
Berbeda dengan tahun lalu, yang pemerintah akhirnya dengan berat hati menutup pasar, atau mensiasati dengan ganjil genap; tahun ini agaknya sangat sulit. Karena situasi tidak normal dipahami sebagai kondisi darurat yang hanya sementara. Bukan terus berlanjut.
Dan dilemma ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Di seluruh dunia menghadapi hal yang sama: berpihak ke ekonomi, kesehatan terancam; berpihak ke kesehatan, ekonomi yang akan terancam.
Boleh jadi, kebijakan pasar online memang menjadi terobosan baru yang harus disempurnakan. Tak perlu datang, transaksi lancar, dan barang bisa dikirim ke rumah.
Dengan kata lain, pasar online bukan sekadar melindungi konsumen dan pedagang dari bahaya pandemi, tapi juga lebih memanjakan konsumen. Tanpa repot, belanja berjalan normal.
Masalahnya hanya di budaya dan kebiasaan. Masyarakat belum terbiasa dengan belanja online. Dan ada kenikmatan lain yang tidak didapat dari belanja online, seperti tawar menawar dan menyentuh atau mencocokkan barang yang akan dibeli.
Tidak mudah memang menyiasati dilema ini. Butuh kesadaran konsumen bahwa pengetatan ini demi kebaikan bersama.
Dan pemerintah pun lebih ditantang untuk menyempurnakan lagi sarana belanja online yang aman, nyaman, dan tanpa hambatan. [Mh]